Jarang sekali ada yang makan di dalam gerbong commuter line. Kalau pun ada dan terlihat petugas, pasti langsung ditegur. Dan biasanya orangnya langsung patuh, karena nggak ada lagi yang makan selain dia. Karena mayoritas pengguna commuterline sudah nggak “bandel” dan mengikuti aturan.
Tapi, dulu nggak kayak gini.
Ketika Ignatius Jonan mengganti sistem karcis dengan tiket elektronik pada 2013, terus terang saya yang paling pesimistis. Karena saya merasakan langsung penumpang di zaman “jahiliyah” KRL Jabodetabek: naik diatas kereta, jualan cangcimen (kacang, kwaci, permen), makan dan minum, hingga buang sampah di dalem gerbong. Dulu tas beneran harus di taroh di depan dan dipeluk, karena komplotan copet bisa beraksi dalam grup yang terdiri 4-5 orang. Ngeri dan nggak nyaman.
Yang terparah dan masih teringat sampai sekarang, pulang ke Bogor naik kereta ekonomi mendekati tengah malam. Gerbongnya terbuka tanpa pintu. Bau pesing. Lantai tertutup debu dan sampah. Di ujung satu, sekelompok orang bikin bikin organ tunggal dangdutan sambil nyanyi kayak di dalem ruang karaoke. Bau alkohol semerbak di seluruh gerbong.
Di ujung satunya, beberapa bocah paling umur 3-4 tahun dengan dengkul kotor, tanpa sendal, baju lusuh, ingusan, asyik lari-larian sambil sesekali minta uang, di kereta tanpa pintu yang sedang berjalan. Dalam hati pengen nangis sekaligus nabok orang tuanya.
Yang saya pelajari dari kejadian itu, sebenarnya kita yang katanya netijen nggak disiplin itu ternyata sangat bisa mengikuti sistem dan aturan. Asal aturannya benar-benar ditegakkan. Walau harus sedikit dipaksa dan tergagap-gagap, tapi ya ternyata nggak ada masalah dan abis itu ya enjoy.
Dari pertama saya lihat bapak tua yang masih bingung cara ngetap kartu, hingga kini ada ibu-ibu yang saldo di kartu multitripnya mendekati setengah juta (nggak sengaja keintip).
Jadi ngeliat kemaren rame banyak postingan soal ibu-ibu yang “piknik” di stasiun MRT dan di-bully netijen cuma ketawa. Nurut saya ya mereka ini wajah Jakarta yang sebenarnya. Mungkin banyak yang ke stasiun commuterline atau naik KRL aja mungkin belum pernah. Lebih-lebih MRT. Ya semuanya butuh proses. Nanti pasti juga ada petugas yang mengingatkan. Kalau sudah beroperasi resmi, lambat-laun mereka juga akan mencontoh penumpang yang lain. Sabar ya gaes.
Justru menurut saya sangat bagus sih warga dari seluruh lapisan masyarakat bisa nyobain MRT, walau saya sendiri juga belom sempet (nunggu kalo tiketnya udah bayar).
Mungkin yang pengen saya nyinyirin adalah mereka yang udah nyobain dan pasang status di sosmed, yang rumah-kantornya dilewatin (minimal searah) sama MRT, tapi tetep bakal milih pake kendaraan pribadi. Kalo ditanya kenapa nggak pake transportasi umum alasannya macem-macem, “aduh ntar penuh ya, ah males desek-desekan, ih bau,”. Wkwkwk. Padahal cuma masalah kebiasaan aja. Walau harus sedikit dipaksa dan tergagap-gagap, tapi ya ternyata nggak ada masalah dan abis itu ya enjoy.


Tapi, dulu nggak kayak gini.
Ketika Ignatius Jonan mengganti sistem karcis dengan tiket elektronik pada 2013, terus terang saya yang paling pesimistis. Karena saya merasakan langsung penumpang di zaman “jahiliyah” KRL Jabodetabek: naik diatas kereta, jualan cangcimen (kacang, kwaci, permen), makan dan minum, hingga buang sampah di dalem gerbong. Dulu tas beneran harus di taroh di depan dan dipeluk, karena komplotan copet bisa beraksi dalam grup yang terdiri 4-5 orang. Ngeri dan nggak nyaman.
Yang terparah dan masih teringat sampai sekarang, pulang ke Bogor naik kereta ekonomi mendekati tengah malam. Gerbongnya terbuka tanpa pintu. Bau pesing. Lantai tertutup debu dan sampah. Di ujung satu, sekelompok orang bikin bikin organ tunggal dangdutan sambil nyanyi kayak di dalem ruang karaoke. Bau alkohol semerbak di seluruh gerbong.
Di ujung satunya, beberapa bocah paling umur 3-4 tahun dengan dengkul kotor, tanpa sendal, baju lusuh, ingusan, asyik lari-larian sambil sesekali minta uang, di kereta tanpa pintu yang sedang berjalan. Dalam hati pengen nangis sekaligus nabok orang tuanya.
Yang saya pelajari dari kejadian itu, sebenarnya kita yang katanya netijen nggak disiplin itu ternyata sangat bisa mengikuti sistem dan aturan. Asal aturannya benar-benar ditegakkan. Walau harus sedikit dipaksa dan tergagap-gagap, tapi ya ternyata nggak ada masalah dan abis itu ya enjoy.
Dari pertama saya lihat bapak tua yang masih bingung cara ngetap kartu, hingga kini ada ibu-ibu yang saldo di kartu multitripnya mendekati setengah juta (nggak sengaja keintip).
Jadi ngeliat kemaren rame banyak postingan soal ibu-ibu yang “piknik” di stasiun MRT dan di-bully netijen cuma ketawa. Nurut saya ya mereka ini wajah Jakarta yang sebenarnya. Mungkin banyak yang ke stasiun commuterline atau naik KRL aja mungkin belum pernah. Lebih-lebih MRT. Ya semuanya butuh proses. Nanti pasti juga ada petugas yang mengingatkan. Kalau sudah beroperasi resmi, lambat-laun mereka juga akan mencontoh penumpang yang lain. Sabar ya gaes.
Justru menurut saya sangat bagus sih warga dari seluruh lapisan masyarakat bisa nyobain MRT, walau saya sendiri juga belom sempet (nunggu kalo tiketnya udah bayar).
Mungkin yang pengen saya nyinyirin adalah mereka yang udah nyobain dan pasang status di sosmed, yang rumah-kantornya dilewatin (minimal searah) sama MRT, tapi tetep bakal milih pake kendaraan pribadi. Kalo ditanya kenapa nggak pake transportasi umum alasannya macem-macem, “aduh ntar penuh ya, ah males desek-desekan, ih bau,”. Wkwkwk. Padahal cuma masalah kebiasaan aja. Walau harus sedikit dipaksa dan tergagap-gagap, tapi ya ternyata nggak ada masalah dan abis itu ya enjoy.