

Ini drone baru DJI: Mavic 2 Pro dan Mavic 2 Zoom. Harganya Rp22 juta dan Rp26,5 juta. Jauh lebih mahal dibanding Mavic Pro versi pertama yang sekarang dibanderol Rp16 jutaan. Sedianya Mavic Pro diposisikan kelas hobi/semi profesional. Karena di kelas profesional ada Phantom 4 yang harganya Rp22 juta-Rp30 jutaan.
Dengan harga setara Phantom, Mavic 2 naik kelas jadi drone untuk profesional. Maksudnya, mumpuni digunakan oleh fotografer, rumah produksi, studio untuk kebutuhan bisnis. Fitur-fiturnya setara bahkan lebih baik dibanding Phantom 4. Ukurannya juga jauh lebih kecil. Konsumen, termasuk yang profesional pun suka drone kecil. Karena lebih praktis dibawa.
Masalahnya ini: di pasar drone DJI tidak punya pesaing. Menguasai 85 persen pasar. Terutama drone dengan harga di atas Rp5 juta, sampai puluhan dan ratusan juta. Di kelas konsumen ataupun komersial.

DJI memang tidak bermain di kelas receh, disebutnya kelas toy (mainan). Apalagi di kelas ratusan ribu. Disana nama-nama seperti Hubsan, Syma, MJX, JJRC, Cheerson, hingga Eachine. Semua dari China. Mungkin bagi DJI pasar ini ampas. Nggak dilirik karena cuannya kecil.
Tidak sedikit yang mencoba menantang DJI. Dari Amerika. Ada 3D Robotic (3DR), perusahaan milik Colin Guinn yang ikut mendirikan DJI bersama Frank Wang.
Frank Wang adalah CEO/pendiri DJI sekaligus salah satu orang terkaya di dunia. Karena valuasi DJI sekarang sudah mencapai USD15 miliar.
Kemudian ada GoPro, yang pede karena menguasai pasar action camera. Mereka memilih nama yang buruk untuk drone mereka: Karma. Seperti kena karma, drone itu diluncurkan dengan banyak masalah.
Dua-duanya gagal dan menyerah. . Solo, produk 3DR, kurang diterima pasar dan membuat mereka mengalihkan bisnis ke solusi enterprise. GoPro menutup bisnis drone mereka.
Soal drone, Amerika harus bertekuk lutut kepada Tiongkok.
Posisi DJI sekarang seperti Apple, tapi tidak ada Android untuk melawannya. Dampaknya, mereka jadi bebas menentukan harga, terlepas dari slogan “ono rego ono rupo”. Posisi mendekati monopoli dan hanya ada satu pabrikan menguasai pasar tentu tidak sehat bagi konsumen. Perkembangan teknologi juga tidak akan secepat ada kompetisi.
Kompetitor DJI masih ada, misalnya Parrot dari Prancis, Yuneec dari China, dan startup-startup baru yang berinovasi dengan produk drone berbeda-beda. Tapi kenapa DJI masih sulit dilawan? Jawabannya masih soal produk. Berbeda dengan smartphone yang kualitasnya mirip-mirip, produk DJI dibanding kompetitornya sekarang memang cukup jomplang. Terlalu jauh beda kualitasnya.
Istilahnya, kalau mau beli drone, pertanyaannya bukan lagi drone merek apa, tapi drone DJI yang mana? Karena mereka punya varian produk yang sesuai bujet dan fungsi berbeda-beda.
Terus pertanyaannya, DJI Mavic 2 Pro dan Mavic 2 Zoom layak beli nggak? Ya kalau ada bujetnya, kenapa nggak? Tapi, lo upgrade nggak cak? Nggak lah. Mahal. Hahaha.