

Mengapa masih butuh kamera saku untuk membuat video atau merekam vlog jika sudah memiliki ponsel canggih atau kamera GoPro? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya merujuk pada vlogger Casey Neistat yang mengatakan bahwa setiap kamera memiliki karakternya sendiri. Storytelling atau cara bercerita tetap utama saat membuat video, namun mengoptimalkan keunggulan masing-masing perangkat (smartphone, GoPro, kamera saku, DSLR/mirrorless) akan membuat video jadi lebih kaya.
Setelah mencoba Canon G7X mark II selama hampir 3 bulan terakhir, tidak berpikir dua kali bagi saya untuk menjadikan kamera tersebut sebagai kamera utama. Untuk kebutuhan ngevlog harian, kamera ini sudah lebih dari cukup. Ada beberapa hal yang saya suka sekaligus menjawab faktor pembeda G7X mark II dengan DSLR, ponsel, GoPro, atau mirrorless.
Pertama, form faktor yang sangat kompak dan ringkas. Lebih kompak dari mirrorless yang saya miliki karena lensanya tidak menonjol keluar. Desain bodi metal-nya juga kokoh, ringan, dan hampir tidak terasa di backpack. Di genggamnya pun cukup nyaman, kalau memang kecil ukurannya. Layar sentuh 3 incinya bisa dilipat keatas 180° atau kebawah 45° yang penting saat vlogging. 5 tombol dengan satu cincin putar dan D-pad untuk navigasi
bukan yang ternyaman. Tapi, saya masih bisa menyesuaikannya.
Kedua, saya suka dengan kualitas gambarnya. Lensa dengan bukaan diafragma lensa f/1.8-2.8 mm berfungsi cukup baik di kondisi minim cahaya. Begitupun ketika memotret wide dengan lensa sudut lebar 24mm, atau mendapat efek bokeh (blur dibelakang obyek) lewat kemampuan zoom optical 4.2x yang membuatnya setara dengan lensa (24-100mm di kamera 35mm). Sektor lensanya pun dilengkapi dengan tambahan sebuah cincin putar, misalnya untuk pengaturan fokus manual atau akses ke opsi pengaturan dengan cepat. Fitur ini jarang saya gunakan, dan mungkin kedepannya akan saya optimalkan.
Tapi, kunci kenyamanan G7X mark II untuk merekam video adalah fitur image stabilization Dual Sensing IS. Membuat lebih mudah untuk meggunakan teknik panning, karena meminimalkan blur akibat goyangan tangan.
Masih banyak fitur teknis yang bisa sangat panjang jika saya beberkan satu demi satu. Misalnya kemampuan dengan menyentuh area layarnya saja lewat fitur touch/focus shutter, filter ND terintegrasi, kemampuan memotret dalam format RAW, konektivitas WiFi dan NFC untuk memindah foto atau video ke ponsel, dan masih banyak lagi.
Menurut saya sensor CMOS 20.1 megapixel berukuran 1 inci dan prosesor DIGIC 7 berfungsi optimal di kamera saku ini untuk menjalankan fitur berat seperti memotret tanpa henti 8fps, mengendalikan noise di ISO tinggi (hingga ISO 12800-25600), serta merekam video di resolusi Full HD 60fps yang selalu saya gunakan.
Kekurangan kamera ini tentu saja tidak ada selot hot-shoe dan headphone jack 3.5 mm untuk menambah mikropon eksternal. Tapi, di kelas harganya juga tidak ada yang menawarkan fitur serupa. Minus lainnya adalah mikropon yang mudah sember saat terkena tiupan angin, serta beberapa pengguna yang mengeluhkan debu yang masuk ke lensa. Semoga itu tidak terjadi di kamera saya.
Ya, di rentang harganya yang hampir Rp7 jutaan, Canon G7X mark II jelas tidak murah. Ini kamera saku premium. Anda bisa mendapatkan mirrorless Sony A5000 di rentang harga yang sama. Tapi, saya tetap akan memilih G7X mark II karena kepraktisannya dan kemampuannya memberikan kualitas video dan foto sesuai yang saya ekspektasikan. Danang arradian