Global_2017_Tech_Trends_2017Laporan terbaru Tech Trends oleh lembaga riset GfK menyoroti lima kunci tren teknologi yang berpotensi untuk memberikan dampak yang signifikan pada kehidupan konsumen pada 2017. Apa saja?

Pembayaran Lewat Ponsel

Screenshot 2017-05-29 12.24.56

Pembayaran melalui ponsel akan semakin banyak dipakai tahun ini, didorong oleh kemauan konsumen akan pembayaran non- tunai, sebuah peningkatan pengalaman berbelanja.

Walau tertinggal 8 tahun-9 tahun dibandingkan Amerika, pembayaran melalui ponsel tengah membuat terobosan besar di Asia Tenggara, seiring dengan aplikasi belanja yang semakin populer.

Di Singapura, misalnya, ada 30.000 titik ritel yang menerima pembayaran non-tunai seperti Apple Pay, Android dan Samsung Pay. Adapun di Indonesia sebagai negara dengan populasi terpadat di Asia Tenggara dengan 250 juta penduduk, sebagian besar penyedia ritel tradisional kini tengah menerapkan wadah e-commerce mereka sendiri.

Dalam riset bertajuk The Connected Asian Consumer, GfK melaporkan bahwa konsumen di Singapura dan Indonesia cukup sering menggunakan aplikasi-aplikasi belanja online (masing-masing mencapai 37 persen dan 35 persen). Meski, penggunaan aplikasi terbesar masih berasal dari India (54 persen) dan Tiongkok (48 persen). Di kedua negara tersebut, hampir setengah dari populasi menggunakan aplikasi online lebih dari 1 kali dalam seminggu. Di China, pengguna bisa memakai sistem pembayaran mobile untuk apa pun. Mulai membayar tagihan bulanan, hingga melakukan pemindai QR Code di gerai pedagang kaki lima.

Faktor yang berkontribusi dalam pertumbuhan di Asia Tenggara adalah harga ponsel yang terjangkau, besarnya populasi kaum muda yang mengerti teknologi, serta upaya pemerintah dan para operator telekomunikasi untuk memperluas dan meningkatkan jaringan 4G LTE mereka.

Konsumen Saat Berada di Toko Ritel:

  • Membandingkan harga (25%)
  • Mencari informasi produk (19%)
  • Membaca ulasan online (17%)
  • Melihat ketersediaan di toko online (14%)

 sumber : GfK FutureBuy 2016 dari 20 ribu responden di 20 negara.  

 

Rumah Pintar           

Screenshot 2017-05-29 12.29.25
Rumah pintar (smart home) siap berkembang lebih jauh, tidak sekedar smart TV di rumah.

Smart TV dianggap sebagai awal pengenalan konsumen ke konsep smart home. Kini berbagai produk rumah tangga yang di pasarkan di berbagai negara di Asia—termasuk Indonesia–semakin canggih dan terhubung.

Meledaknya kelas menengah dan ekosistem manufaktur dan teknologi kuat di Tiongkok diprediksi akan memimpin adopsi masal terhadap tren rumah pintar. Jepang sendiri menjadi pemain kuat kedua. Selain salah satu penghasil elektronik terbesar dunia, populasi negara tersebut semakin menua, yang akan mendorong berkembangnya solusi kesehatan dan kesejahteraan lewat teknologi.

Selain dua pasar utama tersebut, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura juga diperkirakan akan berkontribusi besar pada pertumbuhan rumah pintar melihat besarnya proporsi rumah tangga berpendapatan tinggi dan konektivitas data.

GfK menilai ada tiga kunci sukses adopsi smart home. Pertama, adalah brand yang dapat membangun eksperiens (UX) terbaik ke pengguna. Mulai kemudahan digunakan hingga keterhubungan antar perangkat. Kedua, adalah benefit ke konsumen. Misalnya kepraktisan, penghematan, atau mempermudah memantau kegiatan keseharian.

Ketiga adalah target smart home yang identik dengan millennials. Menurut survei GfK, 36% millenials tidak hanya tertarik dengan konsep smart home, bahkan sudah mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka.

Alasan Memilih Smart Home:

  • Generasi Baby Boomer ingin menghemat penggunaan peralatan rumah tangga, misalnya listrik.
  • Gen X ingin menjaga rumah agar aman dan nyaman.
  • Generasi Millennials ingin terlihat keren dan menjadi trendsetter.

 

Perangkat Wearables

20170208_102755
Produk teknologi yang dapat ditempelkan pada tubuh manusia (wearable) sudah diterima oleh pasar dan akan terus tumbuh seiring dengan keluarnya produk-produk fashion yang baru.

Dalam studi GfK di 16 negara, sepertiga (33 persen) responden mengatakan bahwa mereka melacak atau memonitor kesehatan atau kebugaran mereka melalui aplikasi online atau mobile seperti gelang kebugaran atau jam tangan pintar. Tiongkok memimpin tren ini dengan 45 persen, diikuti 29 persen di Amerika Serikat dan Brasil, 28 persen di Jerman, serta 26 persen di Perancis.

Pasar perangkat wearables melihatkan pertumbuhan sehat dua digit dengan peningkatan sebesar 45 persen yang mencapai volume penjualan sebanyak 13 juta perangkat dari Januari hingga Desember 2016.

GfK melihat bahwa kunci sukses wearables adalah kolaborasi dengan brand fashion yang sudah ada. Mulanya wearables sulit bersaing karena desain yang kurang bagus. Namun, belakangan setelah sejumlah label fashion merilis produk wearables mereka, konsumen mulai tertarik. Desain tetap menjadi faktor penting dalam perkembangan wearables.

Alasan Merekam Kebugaran/Kesehatan lewat Wearables:

  • Menjaga tubuh tetap bugar dan fisik tetap fit (55%)
  • Memotivasi diri untuk berolahraga (50%)
  • Memperbaiki stamina (35%)
  • Motivasi untuk mengonsumsi makanan/minuman sehat (34%)
  • Memperbaiki kualitas tidur (29%)
  • Mengurangi berat badan (29%)
  • Lebih produktif (24%)

sumber: survei GfK di 4.900 netizen usia 15 tahun ke atas di 16 negara.

 

Virtual Reality

Screenshot 2017-05-29 12.21.41
Realitas maya dan realitas tertambah (Virtual dan augmented reality – VR/AR) akan mulai tumbuh di industri ritel dan industri lainnya seiring kesadaran para pelaku bisnis atas kemampuan teknologi tersebut.

Realitas maya (VR) menjadi hal tidak lagi asing bagi konsumen. Produknya beragam, mulai dari PlayStation VR, Oculus RIft, da HTC Vive untuk kebutuhan gaming high-end, hingga perangkat VR yang lebih terjangkau seperti Google DayDream dan Samsung Gear untuk smartphone. Dengan investasi masif di bidang ini, teknologi VR akan terus dikembangkan di masa depan, sehingga semakin meningkatkan fungsi dan user experience yang berujung pada peningkatan permintaan konsumen.

GfK juga melihat lebih banyak industri yang akan memaksimalkan penggunaan VR. Akan banyak sekali konten VR yang dikembangkan untuk shopping, traveling, hingga kesehatan. VR juga tidak sendiri, kedepannya juga akan digunakan dengan AR dan pengalaman gabungan yang disebut blended reality.

Alasan Belum Memakai VR?

  • Harganya terlalu mahal (73%)
  • Belum tersedianya perangkat/hardware (65%)
  • Khawatir keamanan saat dipakai di luar ruangan (61%)
  • Mual setelah menggunakan (33%)

 

Kendaraan Swa-kemudi

Model X
Kendaraan pintar (Autonomous vehicles) sudah mulai diadopsi pasar secara masal.

Autonomous vehicles atau kendaraan swa-kemudi terus digembar-gemborkan oleh media. Tapi, seberapa dekat bisa dinikmati oleh konsumen? GfK melihat hal tersebut tidak akan dirasakan dalam waktu dekat. Bahkan, paling cepat adalah 2025 mendatang. Karena saat ini dianggap belum memenuhi apa yang dibutuhkan konsumen dan apa yang bisa diberikan oleh teknologinya.

Ada dua pendekatan dari teknologi swa-kemudi. Pertama, adalah kendaraan transportasi umum berkecepatan rendah yang akan berjalan di lajur yang telah disediakan untuk kota-kota besar. Dan yang kedua adalah mobil yang diberi teknologi otonom/self driving cars. Harapannya nanti konsumen tidak lagi menyetir mobil secara manual dan menyerahkannya pada teknologi.

Empat Tantangan Teknologi Otonom:

  • Peminat terbesar adalah generasi muda yang sangat terbuka mengadopsi teknologi baru.
  • Masih terkendala dengan keselamatan, peraturan, asuransi, dan masih banyak lagi.
  • Butuh infrastruktur kompleks yang dapat menjamin serta mendukung keamanan kendaraan swa-kemudi.
  • Teknologi swa-kemudi masih belum sempurna dan dalam tahap awal. Masih banyak tantangan dan hambatan, misalnya kondisi cuaca, salju di jalan, kabut, serta hujan deras.