”Pada 2010 saya melihat ada tren perubahan dari feature phone ke smartphone di China,” ujar Lei Jun yang mendirikan Xiaomi pada 2010. “Hei, kami rasa ada kesempatan besar di sini,” tambahnya.
Selanjutnya, Xiaomi membuat ponsel dengan berkualitas, menjualnya secara online dengan harga terjangkau. Pada 2014, perusahaan tersebut menempat posisi kelima perusahaan ponsel terbesar di dunia dengan aset USD46 miliar.
Tapi, itu tidak lama. Sekarang Oppo dan Vivo terus merongrong dominasi Xiaomi, membuat pasarnya hanyas tinggal sepertiga. Di China konsumen sudah mulai membeli ponsel kedua, bahkan ketiga. Dan mereka tidak selalu suka yang murah. Karena permintaan terhadap model flagship seperti Huawei P9 dan Oppo R9 justru melonjak. Pada 2016, Xiaomi tidak merilis angka penjualan ponsel mereka.
Dari Smartphone ke IoT
Sukses awal Xiaomi datang dari peralihan feature phone ke smartphone dan pengenalan konsumen awal akan e-commerce. Tapi, dua formula itu akan berkelanjutan. Xiaomi sadar benar akan hal itu. Karenanya, sejak 2013, mereka sudah mengeksplorasi ranah baru: internet of things.
Menurut CEO Lei Jun, industri IoT dapat lebih besar dari ponsel. ”Karena nantinya semua perangkat elektronik di hidup Anda akan menjadi pintar,” ungkapnya. Satu hal lain yang disadari Jun adalah ini: belum ada satu perusahaan yang bisa dominan di semua sektor (IoT). Itulah yang mereka incar. ”Nantinya konsumen hanya memilik 1 ponsel, tapi terhubung dengan puluhan bahkan ratusan perangkat yang terhubung internet (connected devices),” tambahnya.
Dan yang dilakukan Xiaomi bukan membuat satu-satu perangkat IoT seperti TV, kulkas. Mereka mengambil langkah cepat dan efektif: berinvestasi sekaligus di 77 perusahaan. Xiaomi memberikan perusahaan-perusahaan itu akses ke desainer, pemasar, serta jaringan penjualan mereka yang masif. Sebagai gantinya adalah 10 persen-20 persen saham serta hak untuk menjual produk-produk tersebut dengan label Xiaomi.
Karena itu, jangan heran jika Anda sudah mulai menemukan berbagai produk Xiaomi di Indonesia yang bukan ponsel. ”Kami menggunakan platform Xiaomi untuk mengangkat perusahaan-perusahaan tersebut ke level baru,” beber Jun.
Menurutnya, hingga 2016, pihaknya telah menjual 50 juta unit connected devices dan empat dari perusahaan yang telah mereka “bina” memiliki penguasaan pasar (market cap) senilai USD1 miliar.
Mi Air Purifier, misalnya, menjadi penjernih udara paling populer di China. Padahal dulu perusahaan penjernih udara itu sangat kecil dan tidak terkenal. Xiaomi mengklaim bahwa mereka telah menjadi perusahaan inkubator hardware paling sukses di dunia.
Terhubung dalam Satu Aplikasi
Xiaomi masih punya satu kunci lagi yang membuat mereka berbeda. Selain sangat fokus di hardware, departemen software mereka juga sangat baik. Sistem operasi MIUI adalah kekuatan ponsel Xiaomi selain menghadirkan hardware dengan spesifikasi tinggi di rentang harganya. MIUI memiliki banyak fitur yang tidak ditemukan di software Android lainnya maupun iOS.
Dan kekuatan software itu yang akan menjadi salah satu penentu sukses Xiaomi di IoT. Utamanya lewat software yang disebut Mi Home. Nantinya Mi Home ini akan menjadi pusat jaringan atau platform dari seluruh perangkat IoT Xiaomi. Lewat software ini lah masing-masing berangkat dan berbicara dan berkomunikasi.
Keleluasaan ini yang tidak dimiliki oleh vendor lain. Di pameran teknologi seperti CES dan MWC, misalnya, ada banyak sekali perangkat IoT. Namun, mereka berkomunikasi menggunakan platform yang berbeda-beda sehingga menyulitkan pengguna. Langkah ini sebenarnya tidak hanya dilakukan Xiaomi, LeEco, Huawei, dan Lenovo sudah melirik ke arah sana.
Target Tinggi
Sekitar 2,5 tahun silam CEO Lei Jun berujar pada sekelompok tim engineer untuk membuat ponsel baru. Ia tidak memberi deadline, hanya satu tujuan: menciptakan ponsel tanpa bezel.
Bezel merupakan istilah yang digunakan untuk bagian frame luar layar sebuah perangkat. Fungsinya sendiri beragam dan sangat vital. Mulai memperkuat smartphone hingga mempermudah penggunaan layar sentuh. Tapi itulah yang diinginkan Lei Jun. Yakni, membuat ponsel yang terlihat seperti bongkahan kaca, yang belum pernah ada di pasar sebelumnya.
Sulit, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Mi Mix akhirnya dikenalkan belum lama ini dan dijual terbatas. Inilah gambaran ponsel tanpa bezel yang pernah diproduksi. Mi Mix hanya seharga Rp6,7 jutaan (4GB RAM dan 128GB ROM) dan Rp7,7 jutaan untuk 6GB RAM dan 256GB ROM
Redmi 4A Produksi Indonesia
Akhirnya Xiaomi resmi mengenalkan perangkat pertama mereka yang dibuat di Indonesia, Redmi 4A. Ponsel tersebut rencananya dirilis akhir Februari ini. Hal itu disampaikan oleh Senior Vice President Xiaomi Wang Xiang di Jakarta belum lama ini.
Menurut Wang yang menggantikan sosok Hugo Barra ini, untuk produksi perangkat di Indonesia Xiaomi akan bekerja sama dengan tiga perusahaan sekaligus. Yakni PT Erajaya Swasembada Tbk (distribusi), PT Sat Nusapersada Tbk (produksi), dan TSM Technologies (desain).
Kerja sama tersebut merupakan upaya agar ponsel keluaran dapat memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Selama ini Xiaomi hanya memasarkan ponsel resmi dengan jaringan 3G karena tidak lolos TKDN.
Xiaomi hadir di Indonesia sejak 2014, dan terbilang cukup sukses lewat penjualan Redmi 1S. Seperti halnya di luar negeri, mulanya mereka memasarkan produk hanya lewat jalur online.
Walau selama 2015 dan 2016 Xiaomi tidak merilis secara resmi ponsel 3G di Indonesia, Wang menyebut bahwa Mi Fans di Indonesia tetap setia dan membeli produk Xiaomi.
Redmi 4A adalah ponsel dual SIM yang sudah mendukung jaringan 4G, ditenagai prosesor Qualcomm Snapdragon 425. Dengan layar selebar 5 inci, bobot 131,5 gram, berbaterai 3.120 mAh, Redmi 4A akan dibanderol Rp1,499 juta.
Menurut Pimpinan PT Erajaya Swasembada, Hasan Aula, ponsel yang berjalan dengan sistem operasi MIUI 8 (OS berbasis Android) dijual di jaringan Erafone dan distribusikan oleh PT Teletama Artha Mandiri (TAM) ke seluruh toko ponsel tradisional Indonesia.