
Akhirnya jadi juga GoPro merilis drone terbaru mereka, Karma, setelah beberapa bulan tertunda (setelah dikenalkan Mei 2015, seharusnya diluncurkan awal 2016). GoPro ternyata tidak hanya merilis drone, melainkan sebuah ekosistem raksasa yang akan menentukan nasib perusahaan kedepannya. Oke, tanpa banyak basa basi lagi saya akan coba gali apa yang ditawarkan oleh Karma.
Akhirnya, Drone yang Mudah Dibawa

Para pilot tentu sadar benar repotnya membawa DJI Inspire 1 ke pesawat. Drone tersebut harus disimpan di bagasi di koper hardcase terpisah. Bahkan form factor DJI Phantom 3 atau 4 yang lebih kompak dan bisa dibawa di kabin pun tetap kurang praktis (butuh satu backpack sendiri untuk menggendongnya).
GoPro sadar benar akan hal ini. Langkah pertama yang mereka lakukan dalam mendesain drone adalah harus mudah dibawa-bawa. Pengguna GoPro baik itu atlet ekstrim ataupun traveler tidak ingin ribet. Mereka ingin mengambil gambar aerial semudah dan seringkas mungkin.

Maka, jadilah ini: quadcopter dengan bodi foldable alias dapat dilipat. Bodinya juga pipih dengan landing gear pendek. Selain lebih kompak, desain bodi seperti ini memudahkan proses landing. Warna hitam putih-nya cantik, terutama dengan sepuhan logo GoPro di bodi bagian atas. Seperti mengatakan ini asyik untuk dimainkan, tapi bukan mainan!

Di bagian depan ada mounting gimbal 3-axis yang juga dapat di lepas. Positifnya adalah pilot tidak bingung orientasi depan belakang karena posisi kamera ada di depan. Selain itu, menurut GoPro positioning seperti ini juga membuat baling-baling tidak akan masuk ke frame seperti pada DJI atau Yuneec ketika wahana condong ke depan.
Tapi, ini berisiko karena jika terjadi crash (tabrakan) di bagian depan, dipastikan gimbal yang ringkih terhadap benturan tidak akan selamat.Begitupun dengan kameranya.
Ah, kembali lagi kita lihat bagaimana Karma bisa dibenamkan dalam sebuah koper yang ringkas dan padat sekali seperti di bawah. Membawanya ke atas kabin pesawat pun rasanya tidak masalah dan was-wasa sama sekali. “Anda seperti lupa sedang membawa drone,” ujar CEO GoPro Nick Woodman.

Kemudahan Pengoperasian
Saya pernah menulis bagaimana co-founder dan CEO Lily Drone Antoine Balaresque bercita-cita membuat drone yang dapat dioperasikan semudah mengoperasikan kamera smartphone. Sehingga konsumen akan lebih fokus untuk menangkap momen gambar atau video yang bagus daripada sibuk dengan drone-nya. Tapi, itu sangat sulit dicapai. Bahkan Lily saja tidak jelas nasibnya sampai saat ini.
Nah, bagaimana dengan Karma? Oke. Ada teknologi standar berupa tombol untuk takeoff, landing, dan return to home (RTH). Ada juga preset mirip seperti yang dimiliki 3DR Solo. Antara lain “dronie,” cable cam, reveal, dan orbit. Settingan ini akan sangat memudahkan mengambil gambar. Tidak perlu jago-jago banget “nyetir” dronenya gambar bagus bisa dihasilkan karena bekerja secara otomatis.
Lalu, ada fitur baru “passenger app” yang memungkinkan orang kedua melihat live video feed dari drone bahkan mengontrol posisi kamera. Menarik, karena fitur ini cuma ada di DJI Inspire 1 dengan dual remote. Intinya, satu pilot bisa mengoperasikan drone, sedangkan kameraman dapat mengoperasikan kamera sehingga hasil video bisa lebih maksimal.

Hal menarik lainnya adalah, Karma tidak seperti DJI Phantom yang dioperasikan menggunakan smartphone. Drone tersebut dipasarkan dengan remote berdesain clamshell yang mirip joystick konsol game .
Pendekatannya mirip dengan Yuneec Typhoon dimana remote sudah memiliki layar sentuh untuk mengakses berbagai menu. Karma mampu terbang dengan kecepatan 56 km per jam (mode Sport Phantom 4 berkecepatan 72 km per jam). Adapun jangkauannya 1 kilometer sebelum RTH aktif dan daya tahan baterai 20 menit. Tak jauh beda dengan Phantom.
Hal yang menarik adalah bagaimana Woodman menyebut Karma sebagai sebuah “sistem” penstabil kamera, bukan sekadar drone saja. Ini terkait bagaimana gimbal Karma yang desainnya knock down atau dapat dilepas pasang.

Karena nantinya akan ada Karma Grip, di mana Karma bisa dijadikan handled gimbal stabilizer, bahkan dapat dipasangkan di berbagai mounting untuk mengambil gambar stabil. GoPro belajar dari popularitas DJI Osmo dan respons pasar yang sangat positif terhadap teknologi penstabil gambar.
Dipadu dengan GoPro Hero 5

Karma akan dipadu dengan GoPro Hero 5 terbaru, yakni Hero 5 Black yang dibanderol USD399 dan GoPro Hero 5 Session seharga USD299. Ada sejumlah pembaruan yang dilakukan di kedua kamera tersebut. Pertama, Hero 5 memiliki layar sentuh 2 inci (5 cm) yang menjawab kritikan GoPro Hero 4 Black yang justru tidak berlayar.
Lalu, ada perintah suara (voice command). Pengguna hanya perlu berteriak, “take a photo” untuk memotret. Ini penting sekali misalnya sedang menggunakan head mount atau kedua tangan tidak dapat mengoperasikan kamera. “Dan membuka kemungkinan baru dan luas,” beber Woodman.
GoPro Hero 5 dibanderol USD399 mampu merekam video 4K, beresolusi 12 MP, memiliki kemampuan anti air hingga kedalam 10 meter, merekam suara stereo dengan tiga mikropon, memiliki GPS, serta penstabil gambar elektronik.
Nah, menariknya lagi, lewat Hero 5 GoPro mulai bermain ke konten. Kamera dapat otomatis mengunggah video atau foto di situs video sharing mereka bernama GoPro Plus. Untuk mengaksesnya, memang membayar biaya berlangganan (pay to use). Tapi, ada koleksi musik yang bisa dipakai di video.
Harga dan Perbandingan

Karma akan mulai dipasarkan pada 23 Oktober 2016. Harganya USD799. Atau, USD1,099 dengan Hero 5, serta USD999 dengan Hero 5 Session. Harga ini bisa dibilang terjangkau dan jelas membuat DJI dengan Phantom 3-nya kewalahan. Sementara Phantom 4 banderolnya masih mendekati Rp20 jutaan.
Menurut IHS, penjualan action camera akan terus tumbuh dari 11 juta unit tahun ini menjadi 14,5 juta unit pada 2020. Adapun pasar drone untuk konsumen diprediksi meroket lebih dari 100 persen dari 3 juta unit tahun ini menjadi 6,7 juta unit pada 2020. Ruang pasar terbuka lebar.
Langkah GoPro, menurut saya sudah maksimal. Mereka sudah memiliki komunitas dan ekosistem action camera terbesar di dunia. Premis ekosistem “menstabilkan gambar” termasuk drone di dalamnya jelas menggugah. Mereka rugi USD223 juta dalam setahun terakhir. Tapi, langkah mereka saat ini sudah sangat solid dan berada di jalur yang tepat.
Lewat Karma, GoPro seolah belajar dari tren yang dilakukan DJI, Yuneec, dan startup lainnya soal drone yang diinginkan konsumen, dan menjawabnya dengan produk yang mengakomodir hal-hal terbaik yang dimiliki kompetitornya.
Memang ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab, misalnya koneksi apakah yang digunakan Karma? Tapi ah, itu nanti saja. Bagaimana pendapat kalian?
Drone lipat GoPro Karma langsung punya pesaing yang sepadan DJI Mavic. Kita tunggu saja siapa yang bakal lebih memikat konsumen terutama di Indonesia.
SukaSuka