Solo-Indonesia-Launch-Photo-2-6a9494db20599442a2a0bdd5e41fde9f
Acara peluncuran 3DR Solo di Indonesia pada 2015 silam. Solo di distribusikan resmi di Indonesia oleh Halo Robotics. 

Saya sedikit jengkel melihat harga DJI Phantom yang turun secepat harga ponsel Lenovo. Bayangkan, hanya jeda beberapa bulan setelah membeli Phantom 3 Advance, mendadak dengan harga yang sama saya bisa mendapatkan DJI Phantom 3 Pro plus bonus 1 baterai. Emangnya duit tinggal metik dari pohon?

Ah sudah lah. Ada yang lebih nyesek dari saya. Malah jauh lebih nyesek. Yakni, mereka yang membeli 3DR Solo beberapa bulan lalu yang harganya belasan, bahkan puluhan juta. September 2016 ini harga Solo dipangkas habis jadi Rp7 juta sudah termasuk gimbal, wahana, dan 2 buah baterai. Bahkan saya yang sudah punya Phantom 3 pun tertarik untuk membeli Solo karena begitu murahnya. Walau tidak mungkin karena istri saya bakal ngamuk kalau tau. He-he-he.

media-20160913

Tapi, inilah risiko ketika perkembangan unmanned aerial vehicle (UAV)—selanjutnya kita sebut drone—bergerak secepat smartphone dan menjadi barang komoditas. Produk baru yang menggantikan produk sebelumnya dirilis dengan cepat sekali. Maklum, tidak seperti teknologi dan pasar smartphone yang semakin stagnan dan mulai jenuh, perkembangan teknologi di dalam drone ini masih bergulir liar.

Begitu liarnya, hingga kalimat “Innovate or die” mulai relevan di pasar drone untuk konsumer yang seharusnya masih jadi blue ocean—belum banyak pemain—.

Ini yang terlihat dari 3D Robotics atau 3DR. Perusahaan Drone asal Tijuana dan San Diego, AS, ini sebenarnya sudah beroperasi sejak beberapa tahun lalu (Solo dihadirkan sebagai kompetitor DJI Phantom 2 meski dirilis berdekatan dengan Phantom 3). Kemudian menjadi semakin ramai di Indonesia ketika Halo Robotics menjadi distributor resmi mereka di Indonesia pada awal 2015 silam.

img_20151024_141800_ao_hdr
Solo diminati para profesional karena kemudahan untuk mengoprek dan mengganti berbagai modul seperti kamera. 

3DR memang merancang Solo sebagai sebuah platform. Ketika DJI merilis varian Phantom baru 1 kali-2 kali setahun, Solo adalah drone yang dirancang untuk dapat bertahan hingga bertahun-tahun. Keleluasaan Solo untuk dapat dibenamkan berbagai modul dan kemudahan di-oprek menjadi alasan sebagian pilot profesional memilih Solo dibanding DJI Phantom. Walau, sebenarnya konektivitas wi-fi di Solo jelas obsolete saat diadu dengan teknologi Lightbridge milik Phantom 3.

Memecat Karyawan, Mengalihkan Fokus Perusahaan

Pemangkasan harga Solo habis-habisan bisa jadi ada kaitannya dengan goncang-ganjing di perusahaan 3DR itu sendiri. Pertama, Chief Revenue Officer ‎3D Robotics Colin Guin memutuskan hengkang dari perusahaan. Guinn, yang sempat jadi peserta Amazing Race ini, bisa disebut sebagai frontman dari 3DR. Ia lah yang berkolaborasi dengan Michael Bay dan mempromosikan Solo di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Di laman LInkedIn-nya, Guin tidak menjelaskan ke mana ia berlabuh pasca 3DR. Walau posisinya akan digantikan oleh Vu Tran (sekarang VP Operations 3DR), kepergian Guin melukai para pengguna 3DR. Apalagi jika nantinya Guin akan menjadi kompetitor perusahaan drone tersebut.

3d-robotics-ceo-chris-anderson-3x2-2015
CEO 3D Robotics Chris Anderson adalah mantan pemred majalah Wired. 

Kedua, CEO Chris Anderson kepada Xconomy mengakui bahwa ada perubahan besar di struktur organisasi 3DR. Termasuk perubahan arah perusahaan yang kini lebih berfokus pada enterprise costumer (B2B),

Sebelumnya, 3DR telah melakukan lay off karyawan besar-besaran di kantor pusat Berkeley dan Austin, Texas. Terutama tim sales marketing yang dibawahi oleh Guinn yang juga mantan CEO DJI Amerika Utara itu. Sebelumnya, pada akhir 2015 silam 3DR sudah melakukan lay off ketika co-founder dan presiden Jordi Muñoz juga hengkang dari 3DR.

3d-robotics-facility-near-san-diego
Kantor 3DR di San Diego yang mengalami pengurangan karyawan. 

3DR dibentuk pada 2009 setelah Anderson bertemu Munoz yang menciptakan situs DIY Drones pada 2007. Pada 2015 itu juga 3D Robotics mengalihkan manufaktur dari Tijuana ke perusahaan outsource di China.

Satu hal yang pasti: 3DR melempar handuk putih dan menyerah kepada DJI untuk bersaing di segmen konsumen.

Mengembangkan Software

Lalu, apa selanjutnya untuk 3DR? Anderson yang mantan pemred majalah Wired itu berdalih bahwa restrukturisasi perusahaan seperti yang dilakukan saat ini adalah normal. Kini, bisnis model 3DR telah beralih fokus ke enterprise customer yang tertarik menggunakan drone untuk project tertentu. Misalnya pemetaan, surveilance, konstruksi, dan masih banyak lagi.

img_20151024_142507_ao_hdr
3DR masih memiliki teknologi canggih yang kompetitif bahkan jika dibandingkan dengan DJI Phantom 3 yang lebih baru sekali pun.

Ini ditandai dengan dirilisnya Site Scan aerial analytics platform bulan lalu. Teknologi tersebut memudahkan perusahaan melakukan inspeksi dengan Solo dan mengirim data ke cloud untuk processing dan analytics.

Ya, jelas bahwa 3DR dan Solo masih memiliki masa depan. Tapi, tidak di pasar drone untuk konsumer. Disini DJI Technologies seolah menjadi Apple dan Samsung sekaligus. Perusahaan drone asal China tersebut cepat sekali melakukan inovasi dan meluncurkan produk dengan harga yang semakin terjangkau dan fitur semakin tinggi bagi konsumen.

media-20160913            Mau tahu mengapa saya begitu tertarik dengan 3DR Solo yang kini dibanderol hanya Rp7 jutaan itu? Karena salah satu alasan kegagalan Solo adalah harganya yang mahal dan tidak kompetitif dengan produk DJI Phantom. Ironis kan? Di rentang Rp7 jutaan untuk Solo, seperti membeli iPhone 6s dengan harga Lenovo. Benar-benar best buy dan ini adalah produk drone tercanggih yang bisa Anda dapatkan dengan harga itu. Saran saya jika ingin membeli drone atau menambah koleksi drone, sekarang saatnya. Sementara itu saya akan mencoba merayu istri saya dulu. (*)