Hampir sepekan terakhir ini Yulius, 32, memainkan aplikasi yang saat ini sedang heboh: Pokémon Go. Tapi, ia berdalih hal tersebut tidak dilakukannya karena latah atau ikut-ikutan. Ia mengaku salah satu penggemar berat waralaba media yang dimiliki Nintendo tersebut.
”Saya menonton anime Pokémon dan memainkan gamenya di perangkat handheld Gameboy Advance (GBA). Karena itu untuk memainkan kembali Pokémon di ponsel seperti sedang bernostalgia,” katanya.
Menangkap monster seperti Bulbasaur, Magikarp, maupun Rattata tidak lagi asing bagi Yulius, yang kini sudah tidak terlalu sering bermain game mobile karena kesibukannya sebagai pengembang web.
Tapi, akhir pekan lalu Yulius melakukan aktivitas yang belum pernah dicoba sebelumnya dengan Adlin, anaknya yang berusia 5 tahun. Yakni, mencari Pokemon di taman dekat kompleks rumahnya.
“Seru juga, aktivitas ini membuat anak aktif. Kami berlarian di taman sampai berkeringat. Hasilnya lumayan, kami menangkap 5 Pokémon dan mendatangi 3 Pokestop. Jika ditotal kami berjalan hingga lebih dari 4 kilometer. Lumayan,” ungkapnya.
Permainan mobile yang biasa dimainkan oleh Aldin di tablet, menurut Yulius, tidak membuat anak aktif. ”Mereka terpaku di layar dan menghabiskan banyak waktu dengan duduk atau tiduran. Padahal, anak harus banyak beraktivitas di luar,” katanya.
Pokémon Go memang menggunakan teknologi location based (LBS) dan augmented reality (realitas bertambah), memungkinkan game tersebut melebur dunia virtual dan nyata. Sistem GPS dan kamera di ponsel Android dan iPhone melakukan superimpose digital yang membuat monster-monster virtual tersebut muncul di layar smartphone saat kamera menyala dan menampilkan dunia nyata.
Pengembangnya, Niantic, adalah startup binaan Google yang menjadi independen pada 2015. Mereka populer lewat game bertajuk Ingress pada 2012 yang menggunakan konsep tidak jauh berbeda dengan Pokémon Go. Intinya, untuk memainkannya pemain harus aktif bergerak dan mengunjungi berbagai lokasi.
Teman saya Hilman Fajrian menyebut Pokémon Go sebagai sebuah revolusi yang bisa mendatangkan manfaat besar bagi pemerintah maupun pelaku usaha. ”Permainan ini mampu memobilitasi manusia dalam jumlah masif di dunia nyata dan melakukan aktivitas nyata,” ungkapnya.
Potensinya, lanjut Hilman, sangat banyak. Pemerintah, misalnya, bisa menggelar event besar di lokasi tertentu lewat kerja sama dengan Niantic (setelah Pokémon Go resmi diluncurkan di Indonesia, tentunya). ”Misalnya event kerja bakti kota yang dikemas dengan berburu Pokémon yang rare (langka). Pelaku usaha juga dapat memanfaatkan Pokémon Go untuk meningkatkan kunjungan dan penjualan,” paparnya.
Dan sebenarnya apa yang diungkap oleh Hilman sudah terwujud. Emporium Pluit Mall, misalnya, melalui akun Facebooknya merilis daftar apa saja Pokémon yang bisa di tangkap di mall tersebut, misalnya Scyther, Krabby, dan Gastly untuk menarik pengunjung datang.
Grab, kompetitor Uber di Indonesia, juga meluncurkan kampanye berupa potongan harga dari dan menuju Monumen Nasional (Monas), Jakarta. ”Kami ingin agar pengguna dan staf Grab dan menikmati Pokémon Go,” tegas Marketing Director Grab Indonesia Mediko Azwar.
Monumen Nasional dan Museum Nasional yang letaknya berseberangan juga mengajak para trainer—sebutan pemain Pokémon Go—untuk berburu pada akhir pekan maupun hari biasa hingga tengah malam. ”Kam ingin memanfaatkan momentum Pokémon Go untuk menarik pengunjung datang ke museum dan secara tidak langsung memperhatikan monumen dan koleksi yang ada di museum,” ujar Kepala Humas Museum Nasional Indonesia Dedah Rufaedah.
Bahkan operator XL Axiata membuat pake Combo Xtra dengan gimmick ”diskon 20% untuk menangkap Pokemon” seharga Rp126 ribu yang berisi 26 GB data dan 100 menit menelpon ke semua operator. ”Pelanggan tentu membutuhkan paket data dengan kecepatan, kualitas dan kuota yang tepat agar selalu nyaman dalam memainkannya,” ungkap General Manager Corporate Communication at PT XL Axiata Tri Wahyuningsih Harlianti kepada saya.
Berbeda dengan game mobile yang fenomenal sebelumnya seperti Flappy Bird yang cepat datang dan cepat pergi, Pokémon Go saya rasa akan berbeda. Kalaupun nanti tren Pokémon Go mulai memudar, masih akan banyak orang Indonesia yang tetap setia memainkannya. Sama seperti mereka yang bertahan dengan Clash of Clans kendati sudah ada Clash Royale. Yakni, mereka yang memang menyukai gamenya atau memang menyukai Pokémon, bukan sekadar ikut-ikutan seperti yang banyak terjadi sekarang.
Pertama, karena memang waralaba media Pokémon itu sendiri yang sudah sangat mengakar dan terbukti bertahan hingga 20 tahun dalam bentuk video game, anime, manga, permainan kartu, buku, hingga boneka dan mainan. Kedua, aplikasi Pokémon Go saat ini masih dalam tahap awal. Bahkan belum diluncurkan secara resmi di Indonesia.
Niantic, seharusnya sudah menyiapkan banyak rencana besar terhadap game yang menjadi viral secara organik tersebut. Misalnya saja penambahan fitur-fitur baru, perubahan gameplay, atau bahkan kemungkinan untuk kolaborasi dengan unit bisnis lokal. Alasan ketiga adalah kejadian-kejadian unik yang paling tidak membuat hype Pokémon Go akan lebih lama. Mulai meme lucu yang beredar di jejaring sosial, hingga berbagai berita unik terkait tingkah laku pengguna Pokémon Go.
Karena itu dalam menyambut fenomena Pokémon Go, kenapa tidak menyingkapinya dengan positif. Misalnya dengan melihatnya sebagai peluang pasar yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan produk ataupun jasa yang dapat berdampak pada lingkungan lokal. (*)
positif nya gamers jd lebih banyak gerak hahaha
SukaSuka