Tahun ini kita akan melihat bagaimana ekosistem virtual reality (VR)–termasuk di dalamnya video 360 derajat–perlahan terus terbentuk. Konon perkembangan teknologi di masa depan tidak akan jauh beranjak dari ekosistem ini.
Dua penyedia konten video terbesar di dunia, YouTube dan Facebook, baru saja mengenalkan layanan ini: tayangan langsung (live streaming) video 360 derajat. Apa istimewanya? Menggunakan kacamata VR yang dijual di pasaran dengan harga mulai Rp50 ribuan, pengguna dapat memfungsikan ponsel mereka sebagai sebuah media untuk masuk ke dalam dunia baru yang disebut realitas maya.
Virtual reality atau realitas maya sendiri merupakan sebuah teknologi yang memungkinkan kita sebagai pengguna untuk berinteraksi dengan lingkungan di dalam dunia virtual (maya) yang disimulasikan oleh komputer.
Menonton video 360 membuat pengguna merasa berada di dalam sebuah adegan, memberikan sebuah sensasi yang jauh berbeda di banding menonton bioskop atau film 3D.
Video 360 direkam menggunakan sebuah sistem kamera yang secara simultan menangkap gambar/adegan dalam 360 derajat. Itu yang membuat pengguna dapat menoleh ke kanan, kiri, atas, atau bahwa dan mendapatkan sudut yang berbeda-beda.
Tapi, mengapa VR ini tiba-tiba menjadi penting dan banyak dibincangkan? Mengapa pula mendadak begitu banyak perusahaan yang ”chip in” dalam ekosistem VR ini?
Jawaban atas pertanyaan itu saya dapat langsung saat menghadiri keynote CEO Facebook Mark Zuckerberg di perhelatan Mobile World Congress (MWC), Barcelona, Spanyol, pada akhir Februari 2016 silam.
Dalam keynote-nya itu Zuckerberg bercerita bagaimana 10 tahun silam orang membagikan momen melalui teks dan suara. Seiring membaiknya kualitas jaringan data, diikuti dengan foto. Kini, orang pun dapat berkirim video dengan mudah. Namun, yang ia inginkan adalah ketika orang nantinya dapat berbagi keseluruhan momen–misalnya pernikahan—dengan mudah. Supaya mereka yang tidak hadir pun dapat berada di tengah-tengah momen (pernikahan) itu.
Menurut Zuckerberg, hal itu nantinya bisa dilakukan lewat ekosistem VR. Memang saat ini kualitas video 360 untuk mobile masih tidak terlalu baik. Tapi, seiring waktu, eksperiens terhadap video VR berlahan akan terus menerus membaik. Bayangkan ketika nanti kita bisa saling berkirim video 360 beresolusi tinggi melalui jaringan 5G dari operator. ”Video 360 dan VR akan menjadi killer apps di jaringan 5G di masa mendatang,” katanya.
Tapi sebelum berimajinasi setinggi langit, ada baiknya untuk menapak ke bumi dan melihat kondisi ekosistem VR di Indonesia yang masih pincang dan menurut saya tidak akan ke mana-mana.
Dua hal penopang utama ekosistem VR sudah ada dan bisa di akses di Indonesia: kacamata VR yang sudah dipasarkan demikian murah, mulai puluhan ribu hingga jutaan, dan smartphone yang dirancang khusus untuk mengoptimalkan fitur-fitur VR melalui system on chip (SoC) terbaru Qualcomm 820. LG G5, Samsung Galaxy S7, serta Xiaomi Mi 5 adalah beberapa model yang menggunakan chip tersebut.
Lalu di pincangnya? Menurut saya masyarakat belum tergerak untuk menikmati teknologi VR karena keterbatasan konten yang tersedia. Konten video 360 dengan unsur lokal, bukan luar.
Mengapa para pencipta konten (content creator) belum banyak yang membuat video 360? Seperti yang sudah saya sebut di atas, untuk membuat video 360 diperlukan kamera khusus yang bahkan belum dijual di Indonesia.
Banyak pabrikan yang sudah membuat kamera video 360 ini. Mulai Ricoh 360, GoPro Omni, serta Samsung Gear 360 yang menurut saya sangat ideal untuk mencipta konten video 360: kecil, ringkas, dan ringan. Namun, PT Samsung Electronics Indonesia (SEIN) sendiri baru mengkaji untuk mendatangkan Gear 360 ke Indonesia.
Padahal, mereka lah satu-satunya vendor ponsel yang memiliki ekosistem VR terlengkap saat ini: Gear 360 untuk mencipta konten, Gear VR untuk melihat konten, dan Galaxy S7 sebagai alat untuk menayangkan kontennya.
Memang ada juga Lenovo Indonesia yang mulai aktif mengampanyekan adopsi VR lewat Vibe K4 Note, tapi keberadaan mereka tidak terlalu penting. Dengan ekosistem yang lengkap dan posisi sebagai pemimpin pasar, Samsung lah yang akan memiliki peran vital dalam adopsi VR ke Indonesia.
Yang jelas, konsumen tidak akan datang ke ekosistem VR jika kontennya tidak di sana. Apalagi mengampanyekan penggunaan VR sementara content creator lokal tidak memiliki media untuk memproduksi konten dan mengoptimalkan pemanfaatannya. Itu sama saja dengan menggarami air laut. Percuma.