http://pimg.chirpstory.com/4e6a15492eaba77dd838a467ef7bf3f70c3bedbe/687474703a2f2f6173736574732e6b6f6d7061732e636f6d2f646174612f70686f746f2f323031342f30382f31332f32303537343132756265722d35373830783339302e6a7067

Uber Indonesia sedang kebakaran jenggot. Ketika sedang gencar-gencarnya berekspansi di Indonesia, tiba-tiba langkah mereka mendapat tackle keras. Baru saja beroperasi tiga bulan di Bandung, Uber dilarang beroperasi.

Siapa yang melarang? Tak lain adalah Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (Emil). Kang Emil beralasan, perusahaan teknologi itu belum memiliki aspek legal. “Uber harus berbadan hukum, memberikan asuransi penumpang, memiliki kantor yang jelas, dan harus menguningkan pelat nomor. Baru boleh beroperasi,” katanya.

Ia melanjutkan, jatah armada taksi di Jabar saat ini sudah ditambah jadi 800 kendaraan, dan Uber bisa memanfaatkan jatah tersebut.

Pihak Uber langsung bereaksi. Mereka menunjuk konsultan komunikasi baru Edelman Indonesia (sebelumnya Budge Communication), dan langsung memberikan bombardir “klarifikasi” melalui email tentang aturan apa saja yang tidak mereka langgar serta premis bagaimana mereka bisa memberikan “moda transportasi alternatif”, lapangan kerja baru, dan hal-hal manis lainnya.

Bahkan, lewat Edelman pula communications lead Uber for south-east Asia and India Karun Arya datang ke Indonesia dan minta disettingkan wawancara dengan media. Dan bukan hanya itu, Uber juga membuat petisi untuk menggiring opini bahwa mereka sedang “dizolimi” oleh Ahok dan Ridwan Kamil. Hehehe. Padahal di negara-negara lain pun layanan Uber juga diprotes. Tapi saya tidak akan bahas soal itu.

Konflik Perusahaan Asing vs Lokal

Menurut kacamata saya, konflik Uber di Indonesia ini sebenarnya sederhana. Pertama, Uber adalah musuh besar perusahaan taksi dimanapun. Fitur yang diberikan oleh Uber begitu hebatnya hingga sulit bagi konsumen (di negara-negara maju) untuk tidak menggunakan. Mereka tumbuh cepat di Amerika dan mendunia dalam waktu yang terbilang sangat singkat. Teknologi mereka disebut disruptive, sebuah solusi baru yang menggantikan solusi usang yang puluhan tahun ada dan tidak berubah.

Melihat sejarah tersebut, tak heran jika perusahaan taksi di Indonesia ingin agar api yang masih kecil ini tidak membesar dengan cepat. Kalau perlu, api ini dimusnahkan sepenuhnya. Kerena jika mereka lengah dan terlanjur membesar, bisa-bisa sudah tidak terhentikan lagi. Jika nanti sudah semakin banyak orang menggunakan layanan Uber dan semakin banyak tercipta lapangan kerja baru karena Uber, “api” ini bisa semakin tak terkendali dan sangat sulit dipadamkan.

Sejak awal langkah untuk menggembosi Uber sudah terlihat. Yang paling “kasar” adalah ketika 5 pengemudi taksi Uber dijebak untuk mengantar tamu ke Polda Metro Jaya dan ditangkap. Siapa yang melakukan ini? tak lain adalah Organisasi Angkutan Darat DKI (Organda).

Mengapa Organda terlihat begitu vokal menentang Uber? Bisa kita lihat dari Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) 2015-2020 Adrianto Djokosoetono yang tak lain adalah Direktur Blue Bird Group. Tentu saja sangat wajar jika Adrianto ingin menjaga agar bisnis taksi, tidak hanya Blue Bird Group, namun juga perusahaan taksi lainnya tetap terjamin. Ini juga terlihat bagaimana pembedaan antara Uber dengan Grab Taxi. Grab Taxi diperbolehkan tentu saja karena salah satunya karena masih melibatkan “taksi”.

Uber sendiri sudah memberikan kode ketidaknyamanan mereka terhadap langkah Organda kendati tidak langsung menunjuk tangan. Hanya memberikan “kode”.

Karena, dampak Uber, menurut pengalaman saya sendiri dilapangan dengan mewawancarai sopir Uber dan taksi biasa, sangat terasa. Seorang sopir Uber yang mantan sopir Blue Bird menuturkan bahwa hampir sebagian besar sopir di poolnya mengunduran diri untuk bergabung ke Uber. Dan tidak hanya Uber, melainkan juga perusahaan teknologi disruptive lainnya seperti Gojek.

Organda menyerang Gojek karena sekali lagi menurut pengamatan saya di lapangan, Gojek walaupun berbeda moda transportasi, tapi juga berdampak besar terhadap peralihan penumpang maupun sopir taksi yang keluar dan bergabung ke Gojek.

Hanya saja, saat ini Gojek sedang diatas angin. Perusahaan lokal tersebut dipuji mampu memberikan layanan luar biasa dalam transportasi. Langkah Organda menyerang Gojek justru semakin menunjukkan cara mereka yang tidak elegan dan kasar. Bahkan, Ahok pun kembali bereaksi keras terhadap Organda terkait Gojek ini.

Lalu, dimana saya berpijak? Ada dua hal yang ingin saya garis bawahi. Pertama, membendung kemajuan teknologi memang bukanlah langkah yang bijak. Tapi disisi lain, teknologi yang sifatnya disruptive sendiri tidak akan lepas dari friksi atau gesekan. Jadi, memang wajar jika layanan seperti Uber ini mendapat gesekan. Karena gesekan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Uber sendiri sudah sering menyewa berbagai lobbyist dan pengacara papan atas untuk memuluskan jalan mereka.

Saya bukannya mendukung langkah Ridwan Kamil dan Ahok. Karena konsep ride-sharing ini menurut saya sangat cocok dan tepat sekali untuk pasar Indonesia. Meski demikian, saya juga berangan ada perusahaan lokal yang mampu mereplikasi layanan Uber, serta dapat comply dengan semua peraturan yang ditetapkan pemerintah terhadap konsep “ride-sharing” ini.

Mengapa? Karena saya berharap uang kita tidak akan lari ke perusahaan Amerika, tapi bisa dinikmati oleh perusahaan lokal. Kalau Gojek bisa, kenapa yang lain tidak? well mungkin ini agak naif. Tapi, intinya seandainya konsep ride sharing ini memang bisa membuka lapangan kerja baru, tentu kita berharap agar datangnya dari perusahaan Indonesia juga, bukan perusahaan Amerika.