Di selembar kertas putih itu animator sekaligus pendiri Hello;Motion Academy Wahyu Aditya itu scoping—melakukan streaming di Periscope—aktivitasnya menggambar. ”Ayo, silahkan request. Saya akan menggambar sesuai permintaan,” katanya.
Dalam beberapa detik, permintaan pun berdatangan dari mereka yang menonton “acara” tersebut. Ada yang minta menggambar kebab, jagung bakar, dan masih banyak lagi.
Apa yang dilakukan Wadit—sapaan akrabnya—merupakan bentuk aplikasi kegunaan dari video streaming. Bayangkan jika kemudian orang memiliki channel-nya sendiri-sendiri, memiliki komunitas penonton yang terbangun, hingga akhirnya berujung pada “iklan”. Seperti yang terjadi dengan Twitter lewat “Twit berbayar”.
Bahkan, saat ini sudah ada seleb pertama di Periscope. Namanya Amanda Oleander, freelance artist dan illustrator untuk E! Online yang tinggal di Los Angeles. Channel Amanda di Periscope memiliki 230.000 followers dalam 4 bulan dan ia disebut sebagai “most loved person” di aplikasi tersebut.
”Aplikasi ini sangat adiktif. Semua orang bisa memiliki channel mereka sendiri, berbagai kegiatan, serta kehidupan mereka kepada orang lain,” katanya. ”Anda cukup memegang ponsel, tekan tombol streaming, dan orang akan datang menonton channelmu karena ada notifikasi,” tambahnya.
Menurut Amanda, dirinya diuntungkan karena menjadi sedikit dari orang pertama yang memanfaatkan aplikasi tersebut. Kemudian, channelnya terus berkembang karena ia memberikan konten yang menarik. Yakni, kehidupan kesehariannya. “Sekarang semua orang bisa menjadi bintang reality show mereka sendiri,” katanya.
Bagi Amanda, Periscope ibarat dunia baru yang bisa dieksplor. Karena seseorang bisa langsung melihat aktivitas menarik yang terjadi seketika itu juga di ujung belahan dunia lainnya. Mereka juga bisa menimpali, bahkan berinteraksi.
Ada yang menyebut Periscope memiliki perpaduan fitur antara YouTube dan Twitter. Tapi, untuk netizen Indonesia, bisa dibilang fitur-fitur yang dimiliki Periscope ini lebih mendekati Instagram.
Mengapa? Pertama, penggunaan Instagram di Indonesia lebih mirip “gallery of your life”, dimana seseorang memajang kehidupannya dalam bentuk foto atau video pendek. Misalnya sedang jalan-jalan, tampilan rumahnya, barang yang dibeli, dan masih banyak lagi.
Nah, Periscope ini menjadi platform bagi seseorang untuk melakukan kegiatan “kepo” dalam level baru. Yakni, kepo dalam tahap ketika seseorang merasa perlu membagi kegiatan mereka tanpa jeda, tanpa sensor. Inilah evolusi terbaru sosial media. Siapa yang mau menonton reality show di TV jika nanti kita bisa menyaksikan banyak “reality show” dari orang-orang yang kita follow?
Meski demikian, jika memang nantinya Periscope benar-benar akan booming di Indonesia, seperti halnya teknologi baru yang sifatnya disruptive, ada plus dan minusnya. Salah satunya ketika seseorang memiliki “power” untuk menyiarkan. Hal ini akan mudah sekali dimanfaatkan jadi sesuatu yang positif, atau negatif.