????????????????????????????????Sejak lebih dari dua dekade silam penliti telah menggunakan teknologi wearable untuk melacak keberadaan satwa liar di Indonesia. Apa dan bagaimana?

Sebuah Platform Terminal Transmitters (PTTs) dipasang pada bagian karapas (cangkang) penyu hijau. Transmiter satelit tersebut memancarkan sinyal ke satelit, disiarkan kembali ke stasiun di bumi, untuk lantas diolah menjadi sebuah citra (peta).

Satelit akan mengirimkan sinyal ketika penyu mengambil nafas di permukaan laut (melalui antena yang berada di atas air). Dalam waktu tiga bulan, Satelit Tracking/Sattag tersebut terlepas dengan sendirinya dari tubuh satwa.

Begitulah kira-kira proses yang dilakukan oleh ilmuwan dalam melacak satwa menggunakan tenologi wearable.

Perangkat yang dipakai beragam. Begitupun jenis satwa yang dijadikan obyek penelitian. Sebab, masing-masing penelitian memiliki tujuan yang berbeda. Kesulitan dalam mengaplikasikannya pun juga bervariasi.

”Kesulitan utama adalah memasang alat ini pada satwa target,” ungkap Sunarto, Wildlife Specialist, WWF-Indonesia. Karena dibutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit. Contohnya, pemasangan GPS collar pada gajah perlu melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, dokter hewan, ahli biologi, hingga tim komunikasi.

Marine Species Coordinator WWF-Indonesia Dwi Suprapti, menambahkan, pemasangan Sattag pada Penyu Laut biasanya dilakukan siang hari karena dibutuhkan waktu cukup lama untuk proses pemasangan dan pengeringan; serta memastikan Sattag terpasang kuat. “Padahal satwa sering dijumpai malam hari,” ungkapnya.

Adapun Marine Species Officer WWF-Indonesia Casandra Tania menilai bahwa perangkat wearable untuk keperluan melacak satwa umumnya memiliki harga yang sangat mahal. PSAT yang digunakan ditubuh hiu paus, misalnya, dibanderol USD3500 hingga Rp4500 per unit. Alhasil penggunaannya terbatas.

Selain itu, menurut Casandra, posisi PSAT yang terpasang di luar tubuh Hiu Paus menyebabkan perangkat tersebut rentan terlepas sebelum waktunya karena dipotong secara sengaja atau tersangkut di jaring milik nelayan.

Penggunaan Teknologi Wearable Pada Satwa

Setidaknya WWF-Indonesia telah melakukan pemasangan Sattag di 32 individu Penyu Laut di Berau, Kalimantan Timur; Alas purwo dan Sukamade, Jawa Timur; Serangan Bali; Pulau Piai, Misol, Kaironi dan Jamusba Medi, Papua Barat; Sumbawa, NTT. Adapun jenis penyu tersebut adalah Penyu Hijau, Penyu Sisik,Penyu Lekang dan Penyu Belimbing.
Setidaknya WWF-Indonesia telah melakukan pemasangan Sattag di 32 individu Penyu Laut di Berau, Kalimantan Timur; Alas purwo dan Sukamade, Jawa Timur; Serangan Bali; Pulau Piai, Misol, Kaironi dan Jamusba Medi, Papua Barat; Sumbawa, NTT. Adapun jenis penyu tersebut adalah Penyu Hijau, Penyu Sisik,Penyu Lekang dan Penyu Belimbing.

1995

Wildlife Conservation Society (WCS) bersama mahasiswa UI memasang teknologi wearable – berupa transmitter radio yang dipantau dengan sistem triangulasi – untuk melacak Burung Rangkong di Sulawesi.

2004

PSAT di Hiu Paus
PSAT dipasang di luar tubuh Hiu Paus dengan menggunakan pole spear sehingga ‘jangkar kecil’ yang menyambungkan PSAT tertanam sedalam 2-4 cm di bawah kulit satwa. PSAT kemudian akan menempel pada satwa sampai waktu yang sudah diatur sebelumnya (3 bulan-1 tahun), yang kemudian terlepas secara otomatis. Pada saat terlepas dan terapung-apung di permukaan laut inilah PSAT memancarkan semua data yang sudah terekam ke satelit (Argos). Data yang sudah terkirim ke satelit kemudian dapat diunduh oleh pengguna.

Zoological Society of London (ZSL) pertama memantau Harimau Sumatera menggunakan radio collar.

2005

WWF-Indonesia menggunakan teknologi pemasangan Satelit Telemetri (Satelit Tracking/Sattag), khususnya untuk penelitian dan pemantauan spesies Penyu Laut menggunakan ARGOS Sattelite System.

2006

WWF-Indonesia pertama mengkoordinir sebuah tim untuk pemasangan GPS collar di Gajah Sumatera di Lampung

2007

Pemasangan GPS-GSM collar untuk Harimau Sumatera yang dilepasliarkan di Senepis, Riau.

2011

Penggunaan teknologi wearable pertama dilakukan di hiu paus di Indonesia pada 2011 di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua. Saat itu seekor Hiu Paus jantan berukuran berukuran 3-4 meter bernama Guillermo dipasangi Pop-up Satellite Archival Tag (PSAT) atau satellite-linked radio transmitter.

Variasi dan Fungsi Perangkat Wearable di Satwa

GPS collar

TEK-T_E-Collar_1024x1024Memantau posisi dan mengetahui pergerakan satwa. Data posisi dikombinasikan dengan berbagai data lain dapat digunakan untuk mempelajari berbagai aspek ekologi satwa, termasuk mengetahui luas daerah jelajah, habitat yang disukai, serta pola aktivitas.

Sattag

Di Penyu Laut bertujuan memantau inter-nesting dan pergerakan oceanic satwa tersebut. Antara lain mengetahui pergerakan migrasi satwa, pemanfaatan habitat dan perilaku, serta kondisi lingkungan.

PSAT

psatPop-up Satellite Archival Tag di Hiu Paus dilakukan untuk mengetahui pergerakan horizontal (geografis) dan vertikal (kedalaman). Data posisi ‘diturunkan’ dari data cahaya lingkungan (ambient light) dengan menggunakan alogaritma tertentu.

Selain data cahaya lingkungan dan kedalaman, PSAT juga merekam data suhu air secara terus menerus selama alat terpasang pada satwa sehingga pola pergerakannya berdasarkan distribusi suhu juga dapat diketahui.

Kamera

Selain sensor untuk mendeteksi posisi, kamera juga dapat dilengkapi beragam sensor lain seperti temperatur. Potensi pengembangan beragam alat dan sensor masih sangat luas.

gajah wwf indonesia
Pemasangan GPS collar pada gajah membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit, melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, dokter hewan, ahli biologi, hingga tim komunikasi.