Eddy Cue, Apple's senior vice president of Internet Software and Service, introduces Apple Pay during an Apple event at the Flint Center in CupertinoSudah banyak perusahaan teknologi berupaya melakukan ini: menjadikan smartphone sebagai alat bayar, agar konsumen tidak perlu lagi membawa-bawa dompet saat berbelanja. Sayangnya, walau banyak yang mencoba, banyak pula yang gagal.

Selasa (9/9) silam giliran Apple yang mencoba peruntungan mereka lewat sistem yang disebut Apple Pay. Apple Pay adalah metode pembayaran digital yang memungkinkan pengguna iPhone dan Apple Watch untuk membeli barang di toko ritel tanpa perlu uang tunai ataupun kartu kredit.

Sistem pembayaran ini memang bukan hal baru. Di Amerika perusahaan seperti Starbucks, McDonald’s, PayPal, Google Wallet, serta Square sudah ada dan berjalan. Tapi, penggunanya hanya terbatas. Tidak pernah sampai skala masif.

Rupanya Apple tak ingin terjerumus pada kesalahan yang sama. Mereka masuk ke bisnis pembayaran dengan modal yang sangat solid. Yakni dukungan peritel besar di Amerika berikut bank dan penerbit kartu kredit terbesar di dunia: Visa, MasterCard dan American Express.

Sejumlah analis menilai, Apple yang akan menjual jutaan unit iPhone akan memulai adopsi dari “digital wallet” secara luas. Menurut analis Citi Investment Research Mark May, pasar mobile payments diprediksikan akan tumbuh dari hanya USD1 miliar pada 2013 menjadi USD58,4 miliar pada 2017.

Mudah, tapi Aman

Tampilan Apple Watch saat digunakan di pergelangan tangan.
Tampilan Apple Watch saat digunakan di pergelangan tangan.

Seharusnya digital payment itu tidak hanya mudah. Tapi juga menyenangkan. Cukup sentuhkan ponsel ke mesin pembayaran (checkout), dan konsumen bisa membawa pulang barang yang diinginkan.

Tapi, untuk mewujudkan hal itu tantangannya besar sekali. Pertama soal keamanan. Vendor penyedia layanan digital wallet harus berani menjamin transaksi benar-benar aman. Apple, dalam hal ini memiliki modal berupa teknologi pengenal sidik jari Touch ID dan chip keamanan.

Kedua, vendor harus bisa meyakinkan toko ritel agar mau berinvestasi di sistem point-of-sale baru yang menggunakan teknologi Near Field Communication (NFC). Ini tantangan berat. Karena peritel tidak hanya harus mengeluarkan uang, tapi juga waktu untuk melatih pegawai.

Apple memang sudah memulai dengan langkah besar. Sebanyak 22.000 toko di Amerika siap menerima Apple Pay, mengkover 80 persen dari toko yang menerima pembayaran kartu kredit. Tapi, itu hanya 5,5 persen dari total 3,6 juta toko ritel yang ada di Amerika. Peritel terbesar AS seperti Wal-Mart dan Best Buy juga belum berpartisipasi.

Tapi, itu bisa berubah. Analis Gartner Avivah Litan menilai, seiring tingginya adopsi Apple Pay, mau tidak mau memaksa peritel besar untuk mengadopsi mobile payments. ”Mereka memilih wait and see, melihat bagaimana responnya. Wajar mereka tidak gegabah, karena ini investasi besar,” katanya.

Di negara seperti Kanada dan Inggris, sistem point-of-sale dengan metode contactless sudah banyak dipakai. Bahkan, 20 persen transaksi yang diproses MasterCard di Kanada adalah contactless. ”Begitu konsumen mulai menggunakan transaksi contactless beberapa kali, mereka tidak mau pindah. Karena pengalamannya jauh lebih baik,” ujar Ed McLaughlin, chief emerging payments officer dari MasterCard.

Apple Watch saat digunakan untuk melakukan pembayaran di EDC atau sistem Point of Sales menggunakan teknologi NFC.
Apple Watch saat digunakan untuk melakukan pembayaran di EDC atau sistem Point of Sales menggunakan teknologi NFC.