Film pemenang Oscar, ”Her”, memperlihatkan komputer bisa membuat lagu, berbicara seperti manusia, mengatur email, bahkan jatuh cinta dengan manusia biasa.
Film pemenang Oscar, ”Her”, memperlihatkan komputer bisa membuat lagu, berbicara seperti manusia, mengatur email, bahkan jatuh cinta dengan manusia biasa.

Film ”Her” arahan Spike Jonze membuka imajinasi bagaimana jika komputer di masa depan memiliki semua sifat manusia, seperti akal, perasaan, ambisi, hingga intuisi.

Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) adalah pria berhati sensitif yang akan bercerai dengan istrinya. Suatu hari, ia membeli sistem operasi OS1 buatan Element Software yang baru saja dirilis.

”Bukan sistem operasi biasa. Tapi sebuah kesadaran,” begitulah tagline OS1. Sepulang kerja sebagai penulis surat di HandwrittenLetters.com, Theodore lantas menginstal OS tersebut di komputernya.

Setelah itu, OS tersebut memperkenalkan diri sebagai Samantha (diperankan oleh Scarlett Johansson). Sekilas Samantha tidak berbeda dengan ”asisten suara” seperti Siri.

Tapi, ternyata Samantha bukan sekadar software kecerdasaan buatan (artificial intelligence). Sistem operasi tersebut bisa berbicara dan berdialog dengan luwes. Bahkan, Samantha diprogram untuk bisa memiliki emosi, perasaan, pikiran, bahkan intuisi.


Samantha bisa belajar dari interaksinya dengan si pemilik OS (dalam hal ini Theodore). Samantha membacakan dan menyortir email Theodore hingga menggubah lagu.

Dampaknya, Theodore yang mulanya hanya iseng membeli OS1, terkesan dengan kepribadian Samantha yang hangat, humoris, dan ramah. Mereka mengobrol panjang lebar soal kehidupan hingga pekerjaan.

Walau hanya bisa saling berkomunikasi melalui earpiece lewat  smartphone, Samantha membuat Theodore kembali bersemangat.

Bukan Imajinasi

Stephen Wolfram, pencipta teknologi kecerdasan buatan Wolfram Alpha yang salah satunya digunakan oleh Siri di iPhone mengatakan, apa yang terjadi di film tersebut bukanlah imajinasi. Namun sangat mungkin terjadi. Bahkan, bisa terjadi lebih cepat dari yang dibayangkan.

”Yang paling menantang bukan mekanik untuk membuat Artificial Inteligent (AI) itu bekerja. Tapi, bagaimana membuat sebuah produk yang berarti,” katanya.

Menurut Wolfram, di masa depan AI mungkin tidak akan seperti Samantha yang bertindak sebagai asisten, teman, kekasih, hingga pencipta lagu sekaligus.

Tapi, AI dirancang hanya untuk satu kebutuhan tertentu saja (misalnya asisten saja, atau teman saja). Meski demikian, untuk bisa membuat AI seperti Samantha yang berbicara sama seperti manusia biasa, menurut Wolfram, juga tidak sulit dilakukan.

Teknologi kecerdasan buatan selama ini mungkin hanya populer lewat film-film sains fiksi. Padahal, elemen dari AI itu sendiri sebenarnya sudah ada di kehidupan keseharian kita.

Hal itu diungkapkan oleh Peter Norvig, Direktur Riset di Google dan salah satu penulis buku Artificial Intelligence: A Modern Approach.

Menurut Norvig, bentuk rekomendasi dari buku atau film yang ada di Amazon, Ebay, Siri keluaran Apple, hingga Wolfram Alpha, merupakan bagian dari AI. ”Inti AI adalah mencari cara untuk melakukan sesuatu yang benar, ketika Anda tidak tahu yang benar itu seperti apa,” katanya.

Tapi, sebenarnya mungkinkah manusia bisa benar-benar jatuh cinta dengan komputer seperti Samantha yang tidak memiliki wujud fisik?

Baik Wolfram maupun Norvig sama-sama percaya bahwa keterikatan emosional oleh manusia bukan tidak mungkin terjadi. ”Manusia sangat mudah memberi atribusi karakteristik manusia ke mahluk bukan manusia (antropomorfisme). Misalnya binatang, Tamagochi, hingga video game,” katanya.

Begitupun bagaimana Samantha bisa menggubah lagu. Hal ini ternyata sudah pernah dilakukan. Karena pada 2010 program komputer bernama Emily Howell sudah merilis album pertamanya.

Lalu, bagaimana dampak teknologi ini terhadap kehidupan manusia?

Sama seperti ponsel yang ada sekarang, yang mulanya hanya media berkomunikasi suara dan SMS, kini menjadi lebih kompleks lewat keberadaan jejaring sosial.

Dampaknya sudah terlihat: tingginya penetrasi smartphone dan jejaring sosial ternyata salah satunya justru membuat orang jadi anti sosial.

Bayangkan jika kemudian ada sebuah OS yang begitu pintar dan bisa menjadi asisten, teman, dan bahkan ”kekasih” selama 24 jam.

Dampaknya sebenarnya sudah bisa terlihat di film tersebut: Theodore berjalan di keramaian, tapi setiap orang asik berbicara dengan ponsel mereka sendiri-sendiri. Rasanya ini bukan teknologi yang kita inginkan. danang arradian

Imajinasi Teknologi Masa Depan di Film Her

  • – Teknologi wearable telah menjadi standar baru. Bukan dalam bentuk kacamata atau jam tangan pintar. Tapi sebuah earpiece, mirip seperti Bluetooth headset tapi lebih kecil. Perangkat tersebut selalu online dan mampu berinteraksi lewat perintah suara, seperti Siri dan Google Voice.
  • – Ketika Theodore menginstal OS1 di Desktop di rumahnya, OS tersebut juga muncul di ponsel dan komputer kerjanya.
  • – Perintah dan pendikte suara sebenarnya sudah tersedia di berbagai smartphone saat ini. Tapi, karena fungsinya masih dianggap belum “sempurna”, maka pengguna lebih memilih mengetik langsung menggunakan kibor di smartphone/tablet.
  • – Ponsel milik Theodore di desain dalam bentuk klasik. Memiliki kamera, juga bisa tersinkronisasi dengan earpiece yang dikenakannya.