Kualitas kamera smartphone yang semakin baik, serta jejaring sosial yang beragam membuat selfie lahir sebagai sebuah fenomena.
Suatu sore di awal Desember, tiga orang remaja asyik mengobrol di sebuah sudut restoran siap saji di kawasan Jombor, Sleman, Yogyakarta. Disela-sela tawa, salah seorang dari mereka lantas mengarahkan ponsel ke atas, tersenyum, dan klik!
Mereka tertawa melihat hasil fotonya, sebelum mengulang proses tersebut beberapa kali. Itulah yang dinamakan selfie, kegiatan memotret diri sendiri (atau beberapa orang) menggunakan smartphone atau webcam, untuk lantas diunggah ke jejaring sosial atau internet.
Begitu populernya kata tersebut hingga Oxford English Dictionary mendapuknya sebagai ”Word Of The Year”. Penggunaan kata selfie, menurut Oxford, meningkat hingga 17,000% pada 2013 dibanding tahun sebelumnya.
Di situs bagi-foto Instagram, tagar #selfie telah digunakan 62 juta kali. Itu belum termasuk foto selfie yang diunggah di Facebook, Path, ataupun Twitter. Sebagai contoh, kata “selfie” tercantum sebanyak 368.000 kali sebagai status Facebook dan 150.000 tweet hanya dalam waktu seminggu.
Mengapa hal ini terjadi? Saya jadi ingat bagaimana majalah Time pada 2006 menahbiskan “You” sebagai Person of the Year. “World Wide Web adalah alat yang menyatukan kontribusi jutaan orang dan membuatnya bermakna,” tulis Time.
Pada saat itu jejaring sosial belum sebesar sekarang. Kamera ponsel pun hanya bisa memotret foto buram dengan resolusi kecil.
Selama tujuh tahun berikutnya perubahan yang terjadi luar biasa. Media seperti Twitter, Facebook, Instagram, Path, hingga YouTube berubah sebagai tempat ideal untuk berbagai self image (gambar diri). Hal itu di dukung oleh revolusi fungsi smartphone yang kini menjadi alat yang sempurna untuk mendokumentasikan diri sendiri dan kegiatan sehari-hari.
“Dengan smartphone dan sosial media, semua orang memiliki kesempatan untuk membuat potret diri dan membaginya ke seluruh dunia,” ujar Christopher Phillips, kurator International Center of Photography di New York.
Memang menarik melihat bagaimna selfie tidak hanya dilakukan oleh remaja di Yogyakarta, tapi juga Jakarta, Surabaya, dan berbagai kota di Indonesia lainnya. Bahkan, selebritis seperti Rihanna, Kim Kardashian, Miley Cyrus, hingga Sandra Dewi, Sophia Latjuba, dan Nadia HUtagalung pun sering mengambil foto diri dan mengunggahnya ke jejaring sosial.
Selfie telah menjadi tren sosial yang bahkan dilakukan oleh Paus hingga Presiden. Belum lama ini, misalnya, sempat heboh ”funeral selfie”, kegiatan selfie yang dilakukan oleh Perdana Menteri Inggris David Cameron, Presiden Barrack Obama, serta Perdana Menteri Denmark Helle Thorning-Schmidt. Aktivitas selfie tersebut dianggap kurang pantas karena dilakukan di tengah-tengah pemakaman Nelson Mandela di Afrika Selatan.
Kegiatan selfie selama 2013 lalu menjadi begitu populernya hingga survei terbaru dari Pew Internet & American Life Project menyimpulkan bahwa 54 persen pengguna internet setidaknya pernah menggungah foto dirinya secara online.
Tapi, apa sebenarnya yang mendorong kita melakukan selfie? Psikolog sekaligus direktur Media Psychology Research Center Dr. Pamela Rutledge mengatakan bahwa keinginan untuk memposting foto selfie ke jejaring sosial dan mendapatkan respon berupa ”likes” adalah naluri biologis manusia.
”Sama seperti saat Anda menghadiri pernikahan teman dan ada yang memuji, ’wah, bajumu bagus!,” katanya. Validasi sosial maupun pengakuan terhadap citra integritas seseorang, menurut Pamela, telah menjadi kebutuhan. ”Bahkan ada area di bagian otak yang ditujukan khusus untuk kegiatan bersosialisasi,” tambahnya.
Ya, selfie mungkin sudah lama ada. Tapi, di era digital, kegiatan tersebut seperti tinggal landas ke dalam tingkatan yang tidak pernah di prediksi sebelumnya. ”Dengan selfie, Anda mengontrol imej Anda sendiri. Anda bebas menjadi fotografer sekaligus subyek,” papar Pamela lagi.
Anda bebas mengambil foto diri dan mengunggahnya ke jejaring sosial. Hanya saja, menurut sebuah studi yang dilakukan di Inggris, membagi terlalu banyak foto personal (termasuk selfie) ke jejaring sosial berisiko membuat diri kita tidak disukai. ”Bahkan berpotensi untuk merusak hubungan pertemanan kita tidak hanya di sosial media, tapi juga di dunia nyata,” tegas peneliti Dr. David Houghton.
Penelitian itu mengingatkan saya kepada meme yang tersebar viral di jejaring sosial Path yang membuat senyum-senyum sendiri. Tulisannya, ”jangan sering-sering selfie, kecuali kamu Nadya Hutagalung!”.
Tentang Selfie:
Selfie menjadi Word of the Year oleh Oxford Dictionaires.
Definisi:
Ejaan: Selfi
Foto yang diambil sendiri, menggunakan smartphone atau webcam dan diunggah di sosial media atau website.
Penggunaan Pertama Selfie
13 September 2002, di forum Australia.
Penggunaan kata Selfie meningkat 17,000% antara Oktober 2012 hingga Oktober 2013.
Popularitas selfie terjadi seiring semakin baiknya kualitas kamera smartphone.
Jejaring sosial Vine dan Instagram menambahkan fitur kamera belakang untuk mengakomodi kegiatan selfie.
Selfie dilakukan oleh hapir semua orang. Dari anak-anak hingga dewasa, selebritis hingga Presiden.
Membagi terlalu banyak foto personal (termasuk selfie) dapat merusak hubungan dan membuat diri kita tidak disukai.
Di situs bagi-foto Instagram, tagar #selfie telah digunakan 62 juta kali. Itu belum termasuk foto selfie yang diunggah di Facebook, Path, atau Twitter.
Hanya dalam 7 hari (20 Oktober 2013-27 Oktober 2013), kata “selfie” disebut dalam status pengguna Facebook lebih dari 368.000 kali. Pada periode yang sama di Twitter, tagar #selfie digunakan lebih dari 150.000 tweet.
Pew Internet & American Life Project menyimpulkan bahwa 54 persen dari pengguna internet setidaknya pernah menggungah foto dirinya secara online.
Mulanya aplikasi Vine tidak memiliki fitur front-facing camera untuk merekam kamera, tapi karena tingginya permintaan pengguna, fitur tersebut lantas diberikan dan hasilnya sangat positif.
“Manusia lebih merespon wajah. Otak memproses visual lebih cepat, dan lebih terhubung ketika melihat wajah,” – Dr. Pamela Rutledge direktur Media Psychology Research Center.
“Ide dari selfie adalah menjadikan wajah Anda sebagai teks, sementara Anda berusaha untuk menjelaskan momen atau sedang bercerita tentang sesuatu. Lebih pada sebuah momen, daripada foto.” Frédéric della Faille, founder dan desainer aplikasi Frontback.
Clive Thompson, penulis buku ”Smarter Than You Think: How Technology Is Changing Our Minds for the Better” menilai bahwa saat ini kita lebih terbiasa dengan interaksi yang berkutat pada gambar. Gambar, dianggap lebih efektif dibanding teks dalam mengekspresikan perasaan