Bagi David Hockney, sebuah karya lukis tidak hanya dibentuk dari penyatuan kuas dan cat dari palet ke kanvas. Tapi, bisa juga dari sapuan ujung jari atau stylus ke permukaan kaca perangkat elektronik seperti tablet.
Hockney, yang disebut sebagai salah satu seniman Inggris paling berpengaruh saat ini, sudah mulai melukis sejak 1960-an. Di usianya yang menginjak 76 tahun, pria tersebut menyambut kehadiran medium baru dalam menyalurkan karyanya: kanvas dalam bentuk digital. Tepatnya, di sebuah iPad.
”Ini memang medium baru,” ujarnya kepada Reuters. Bahkan, ia belum yakin sepenuhnya dengan medium tersebut sampai ketika ia mulai mencetak hasil lukisan yang ia buat melalui aplikasi Paintbrush di iPad. ”Terus terang saya terkejut melihat hasilnya. Bahkan, sampai sekarang pun masih terkejut,” ia menambahkan.
Pertengahan bulan lalu, 150 ”lukisan iPad” Hockney dipamerkan di Young Museum, Golden Gate Park, San Francisco, AS. Yang menarik, respon pengunjung ternyata begitu luar biasanya.
Hockney yang tinggal di Inggris dan Amerika itu melukis apapun. Mulai wajah manusia, bunga, gunung, hingga apa yang dilihatnya sehari-hari seperti kaki, gunting, saklar, lampu, dan masih banyak lagi.
Sebagian dari pembuatan karya lukis digital itu direkam dalam bentuk animasi video. Sehingga pengunjung bisa melihat langsung bagaimana setiap goresan, warna, serta karya itu dipoles dan dibentuk. Gambar-gambar Hockney itu tidak selalu ditampilkan dalam bentuk lukisan cetak. Tapi juga lewat layar-layar digital berukuran besar.
Belum Diterima
Memamerkan karya lukisan yang “hanya” dibuat di iPad di sebuah museum yang bergengsi, dinilai mampu mengangkat legitimasi dari karya seni digital itu sendiri. Pameran seni lukis yang dibuat di tablet sangat jarang, bahkan hampir tidak ada. Seni digital seperti ini juga dianggap tidak mampu menyaingin seni lukis konvensional yang menggunakan medium cat, kuas, dan kanvas.
Edo Abdullah, praktisi desain grafis dan digital painting menilai, New Media Art ini belum diterima secara “legowo”, terutama oleh komunitas pelukis Indonesia. ”Memang karya lukis digital yang sifatnya mudah digandakan ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar pelukis,” ujarnya.
Meski demikian, menurut Edo, masyarakat umum dengan tingkat pengetahuan seni yang “sedang” justru memberikan apresiasinya cukup baik terhadap lukisan digital yang jadi karyanya. ”Saya juga suka dengan sikap David Hockey dalam berkarya yang selalu welcome dengan teknologi,” katanya.
”Pameran seperti ini akan membuat orang lebih terbuka terhadap teknologi,” ujar Maureen Nappi, sejarawan seni dari Long Island University. Kendati iPad sendiri sangat baru sebagai “medium seni”, namun Nappi berpendapat bahwa cara manusia melukis menggunakan sapuan tangan sudah ada sejak manusia pertama melukis di dinding pada ribuan tahun lalu.
”Artikulasi ekspresi kreatif lewat sapuan tangan ini hampir setua keberadaan manusia di bumi,” tambahnya.
Beda Teknik
Hockney memulai melukis dengan tangan di iPhone miliknya sejak lima tahun silam. Tidak ada maksud serius. Hasil lukisannya itu hanya dibagi ke email teman-teman dekatnya.
Ketika iPad dirilis, ia langsung membelinya. Selanjutnya, pria yang sudah berkali-kali memamerkan hasil lukisan di iPad, iPod, dan iPhone itu lebih serius. Ia melukis menggunakan aplikasi seperti Brushes, dibantu dengan program lain macam Touch Sketch, SketchBook Mobile dan Bamboo Paper. Kini Hockney tidak hanya melukis dengan jemarinya, tapi juga alat seperti stylus.
Edo Abdullah adalah salah satu seniman digital yang tidak ragu untuk memanfaatkan perangkat seperti tablet untuk berkarya. Mulai membuat sketsa hingga memoles karya lukisan digital yang dianggap final ia lakukan di tablet. ”Menurut saya tablet adalah medium yang menyenangkan untuk melukis,” papar Edo.
Tentu saja, teknik ataupun sensasi yang timbul antara melukis konvensional dan digital sanat berbeda. Cara konvensional tentu lebih sulit. Sebab, sekali pelukis menyapukan kuas, harus jadi. Karena itu, menurut Edo, pelukis harus ekstra hati-hati.
Berbeda pada cara digital, karena sebuah perintah bisa dibatalkan (undo) sebanyak mungkin. Bahkan, sudut komposisi pun bisa ditata berulang-ulang hingga mendapat komposisi yang pas.
”Dengan menggunakan software tertentu, sebelum hasil akhir, dengan sangat mudah kita mengeksekusi tone warna juga semau kita,” beber Edo lagi. Cara menikmatinya pun juga berbeda, bisa dilihat secara keseluruhan, juga dengan cepat kita bisa zoom untuk melihat detail.
Edo yang fokus berkarya secara digital, punya rencana sendiri dalam menjual karya-karya lukisnya. ”Saya targetkan dulu agar karya saya minimal sudah 100 lukisan. Kemudian, dengan seleksi ketat yang melibatkan kurator, saya berniat mendirikan gallery offline maupun online,” ujarnya. “Saya sengaja tidak akan menjual lukisan saya dalam bentuk file. Tapi sengaja di-print di atas kanvas,” paparnya.
Binghamton University Art Historian Kevin Hatch mengatakan, “peralihan ke seni digital” sudah berlangsung sejak 25 tahun silam, seiring internet mulai populer. Sekarang, semakin banyak seniman yang bahkan terjun langsung ke digital. Peralihan serupa, menurut Hatch, pernah juga terjadi pada bidang fotografi.