81qTQyY+jtL._SL1500_Penggunaan kata wireless (nirkabel) pada teknologi charger atau pengisi baterai akan semakin sering digunakan. Teknologi terbaru memungkinkan pengguna smartphone duduk santai di sebuah kafe dan baterainya terisi penuh tanpa perlu mencolok kabel apapun.

Untuk pertama kalinya penjualan smartphone secara global resmi menggeser feature phone pada kuartal kedua 2013 silam. Menurut catatan lembaga riset Gartner, pengapalan jumlah smartphone pada kuartal tersebut mencapai 225 juta unit (tumbuh 46,5%) dari total 435 juta unit ponsel yang dikapalkan. Pengapalan feature phone justru turun 21% ke angka 210 juta unit.

Tingginya peningkatan pengguna smartphone di dunia mengisyaratkan mobile computing sudah jadi aktivitas yang tidak terelakkan. Mereka menggunakan berbagai aplikasi di tablet, phablet, atau smartphone untuk berkegiatan sehari-hari, mengonsumsi macam-macam konten untuk beragam tujuan.

Tingkat konsumsi yang masif itu tentu saja berdampak pada daya tahan baterai. Kendati para vendor terus-menerus membenamkan kapasitas baterai yang semakin besar, tetap tidak pernah cukup bagi sebagian konsumen. Sampai saat ini belum ada smartphone yang baterainya bisa bertahan hingga 24 jam penuh dalam penggunaan berat.

Karena itu, para vendor pun memilih menghadirkan solusi berbeda dari sekadar menambah mAh di baterai. Yakni, bagaimana membuat konsumen bisa mengisi ulang baterai di smartphone mereka lebih mudah, lebih cepat, dan tanpa ribet. Maka, lahirlah apa yang disebut dengan pengisian baterai nirkabel atau wireles charging.

Nokia sudah melakukannya lewat seri Lumia 920, disusul Samsung dengan Galaxy S4, dan LG Electronics melalui Nexus 4. Karena sifatnya nirkabel, tidak perlu lagi copot-pasang charger. Cukup letakkan ponsel di sebuah penampang atau pad, dan tunggu sampai baterai terisi penuh.        

Susan Eustis, ketua tim riset dari studi Wireless Phone Chargers: Market Shares, Strategy, and Forecasts, Worldwide, 2013 to 2019 mengatakan, pasar pengisi baterai nirkabel ini akan membesar dengan cepat.

Pada 2012 silam, pasar wireless charging ini hanya bernilai USD3 juta (Rp30 miliar). Tapi, pada 2019 mendatang diperkirakan berkembang hingga USD33,6 miliar (Rp330 triliun). Bisa jadi semua perangkat bergerak yang dipasarkan saat itu akan menggunakan wireless charging.

Bekerja Seperti Wi-Fi

Wireless charging menggunakan metoda induksi. Arus listrik yang berasal dari stopkontak dinding bergerak melalui kumparan di charger, lantas menciptakan medan magnet. Medan magnet ini mampu menghasilkan arus listrik daya rendah (5 watt) yang kemudian menginduksi ponsel.

Memang terlihat sangat praktis. Meski demikian, teknologi wireless charging yang ada saat ini punya kelemahan besar. Setiap ponsel diangkat dari charging pad, maka proses pengisian daya otomatis terputus. Ketidakpraktisan ini membuat wireless charging belum dilirik oleh banyak konsumen.
173572251_Duracell Powermat used at Starbucks
Karena itu, para vendor pun mencari cara agar baterai sebuah smartphone atau tablet dapat di-charge tanpa perlu bersentuhan dengan charging plate. Artinya, selama ponsel itu berada di satu ruangan dengan sebuah charging station yang memancarkan daya listrik, baterai akan terus terisi. Cara kerjanya kira-kira sama seperti jaringan Wi-Fi.

Situs SamMobile, misalnya, melaporkan bahwa teknologi pengisian baterai nirkabel Samsung yang tanpa menggunakan charging plate akan dikomersialisasi pada akhir tahun depan. Jika melihat sejarah produk Samsung, kemungkinan besar teknologi tersebut akan diluncurkan bersamaan dengan Galaxy Note 4 pada September 2014 mendatang.

Dan Samsung tidak sendirian. Sony juga dikabarkan sedang menyempurnakan teknologi wireless charging yang sangat maju. Teknologi pengisian baterai nirkabel Sony itu diklaim dapat mengirim daya listrik hingga 10 watt-15 watt. Sehingga proses pengisian baterai bisa lebih singkat. Hanya butuh 60 menit atau 50% lebih cepat dibandingkan teknologi wireless charging saat ini yang hanya bisa menginduksi daya listrik sebesar 5 watt.

Perusahaan Jepang lainnya, ROHM Semiconductor, juga sedang mengembangkan teknologi serupa. Bahkan diprediksi akan muncul dipasaran lebih cepat. Yakni pada kuartal kedua 2014.

Ada juga Cota, perusahaan yang kini sedang dalam proses mempatenkan teknologi wireless charging mereka. Teknologi Cota ini sangat menarik. Pengguna iPhone, misalnya, cukup memakai casing tertentu dan secara otomatis baterai iPhone terus terisi selama berada di jangkauan charging station.

CEO Ossia Incorporated Hatem Zeine yang juga pencipta Cota mengatakan bahwa teknologi miliknya ingin segera dipatenkan. Sebab, ia tidak hanya mengincar pasar perangkat bergerak seperti smartphone saja. Tapi juga industri lain seperti minyak dan gas, medis, transportasi, dan masih banyak lagi. ”Kemungkinannya tidak terbatas jika kita bicara soal teknologi wireless charging,” ujar Hatem.

Karena itu, dalam waktu yang tidak lama lagi, ketika sedang berada di sebuah kafe, alih-alih bertanya password Wi-Fi di kafe tersebut, pertanyaan yang muncul adalah, “apakah di kafe ini ada wireless charging? Karena baterai saya tinggal sedikit!,”. danang arradian

Perang Platform

Starbucks Galaxy photoPerkembangan teknologi wireless charging ini mirip dengan pertarungan antara video Betamax milik Sony dan VHS keluaran JVC dulu. Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa konsorsium industri menciptakan standar berbeda-beda terkait wireless charging ini. Bahkan, ada tiga konsorsium yang hadir dengan plaform yang berbeda-beda.

Pertama adalah Power Matters Alliance (PMA) yang dibidani oleh Powermat Technologies dan Procter & Gamble (P&G). Teknologi wireless charging milik PMA ini bahkan sudah digunakan di gerai Starbucks tertentu di Boston dan Silicon Valley, serta beberapa restoran McDOnald’s di Eropa. Charger Duracell Powermat itu bisa mentenagai iPhone 4 dan iPhone 5, serta Samsung Galaxy S3 dan S4.

Kedua adalah standar Qi yang dirancang oleh Wireless Power Consortium (WPC). Standar Qi ini termasuk yang paling banyak digunakan oleh vendor smartphone. Antara lain oleh Sony, Nokia, dan LG. Teknologi milik WPC dan PMA ini walaupun fungsinya sama, tapi tidak kompatibel satu sama lain.

Yang terakhir adalah standar keluaran Alliance 4 Wireless Power (A4WP) yang merupakan konsorsium antara Samsung and Qualcomm. Kendati demikian, baru-baru ini Qualcomm mengatakan bahwa mereka sedang membuat standar hibrida yang menggabungkan induksi low-frequency milik PMA dan resonansi high-frequency milik A4WP.

Terlepas dari perang platform ini, pihak Qualcomm memprediksi bahwa di masa depan nantinya perangkat smartphone pengguna akan terisi secara otomatis ketika mereka sedang berada di swalayan, restoran, bis, kafe, kantor, dan tempat-tempat lainnya. Akan sampai pada satu momen ketika Anda tidak khawatir lagi bermain game disaat baterai hampir habis.

130425_induction-copy