Awal bulan ini Mozilla resmi merilis smartphone bersistem operasi Firefox pertama, ZTE Open, di Spanyol. Smartphone yang dibanderol tak lebih dari Rp900 ribu itu dinilai jadi titik awal perkembangan sistem operasi berbasis web.
Selama bertahun-tahun peramban web Firefox tidak hanya bisa bertahan, bahkan mengungguli browser keluaran perusahaan raksasa seperti Microsoft (Internet Explorer), Google (Chrome), dan Apple (Safari).
Kendati demikian, disaat semakin banyak konsumen yang mulai meninggalkan PC dan beralih ke perangkat yang lebih mobile seperti smartphone ataupun tablet, mau tidak mau Mozilla menyusun ulang strategi mereka.
Untuk bisa survive di tren mobile device, memiliki browser Firefox versi mobile saja ternyata tidak cukup. Mozilla mengincar sesuatu yang lebih besar, lebih strategis. Yakni, membuat sendiri sistem operasi yang disandarkan pada teknologi web. Inilah asal muasal lahirnya sistem operasi Firefox OS.
Karena platform-nya yang sangat berbeda itu, Firefox OS—untuk sementara—tidak berupaya untuk menantang langsung dua ”jendral” di sistem operasi mobile: Android milik Google dan iOS keluaran Apple yang jika digabung akan mengakomodir 90 persen dari total populasi smartphone dunia dan 95% tablet secara global.
Saat ini, Firefox OS justru melirik hal yang sifatnya lebih masif daripada sekadar menggugat dominasi market share Apple dan Google. Apa itu? Menjadi peletak fondasi dari masa depan teknologi ponsel berbasis web.
”Firefox OS adalah kategori baru dari apa yang disebut dengan web-based device (perangkat berbasis web),” ujar Chief Technology Officer (CTO) Mozilla Brendan Eich. Apa maksudnya?
Penjelasan sederhananya adalah ini: bayangkan jika sebuah web browser di-tuning sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai sistem operasi sebuah ponsel. Pada esensinya, Firefox OS adalah sebuah ”web browser”.
Seandainya pengguna membuka aplikasi Facebook di Firefox OS, maka ia akan diarahkan ke versi mobile web situs jejaring sosial terbesar di dunia. Dan ketika pengguna mengunduh aplikasi third-party dari toko aplikasi Firefox Marketplace, maka seolah-olah ia sedang mengunduh ”shortcut” ke sebuah situs tertentu. Inilah apa yang disebut dengan web-based device.
Lalu, apa dampaknya? Perbedaan paling terasa mungkin berasal dari user interface dan user experience-nya. Bagi mereka yang sudah terbiasa menggunakan Android ataupun iOS, bisa jadi Firefox OS adalah sebuah kemunduran.
Tampilannya bisa dibilang sangat sederhana, jauh dari kesan mewah. Menu-menunya berdesain bulat, flat, dan cenderung monoton. Ketika dinavigasikan, aksesnya pun laggy atau kurang responsif.
Tapi ini wajar. Karena sekali lagi Firefox OS bukan mengincar mereka yang sudah terbiasa dengan Android atau iOS. Target market terbesar mereka justru ini: pembeli ponsel pertama (first time buyer) dan para pengguna feature phone yang ingin upgrade ke smartphone.
Potensinya? Sangat masif. Tren pasar terbaru menunjukkan bahwa pasar smartphone (premium) di negara-negara maju sudah mulai tersaturasi. Dengan pengguna smartphone di Amerika yang mencapai lebih dari 60 persen, sangat sedikit ruang pasar baru untuk berkembang.
Sebaliknya, para pembeli ponsel pertama dan mereka yang ingin beralih ke smartphone masih sangat-sangat besar. Terutama di emerging market seperti Rusia, India, China, bahkan Indonesia.
Awal bulan ini Mozilla memang meluncurkan ponsel bersistem operasi Firefox pertama mereka, ZTE Open, di Spanyol. Namun, yang jadi incaran Mozilla selanjutnya adalah negara-negara di Amerika Selatan seperti Brazil dimana handset seperti iPhone dianggap sebagai produk premium.
Tapi bisakah Firefox OS jadi sebuah sistem operasi yang ”bergigi” ketika perusahaan seperti Microsoft dan BlackBerry saja kepayahan? Bisakah Firefox OS menyempurnakan ekosistemnya?
Menjawab pertanyaan ini, pihak Mozilla mengaku sangat optimistis. Optimisme mereka berasal dari teknologi Open Web yang disebutkan di awal.
Dengan Open Web, Mozilla tidak perlu membuat fondasi baru. Fondasi ekosistem mereka berasal dari teknologi yang sudah ada dan sudah banyak sekali digunakan oleh para developer: HTML5.
Sebagai perbandingan, jumlah developer HTML di seluruh dunia jauh lebih besar dibandingkan developer yang hanya mengembangkan aplikasi untuk iOS, Android, atau sistem operasi lainnya. Simpel saja, karena teknologi HTML lebih murah dan lebih mudah di akses.
Karena menggunakan platform berbasis web itu maka Mozilla tidak perlu ”mengemis” kepada developer untuk membuat aplikasi di Firefox OS. Para developer cukup mengoptimalkan mobile site mereka saja.
Mozilla Representative Indonesia Benny Chandra merasakan sendiri hal ini. Kendati sehari-harinya bukan berprofesi sebagai developer, tapi ia mampu membuat sendiri PocketKumi, aplikasi untuk menampilkan berbagai foto dan gambar Kumi, maskot komunitas Mozilla Indonesia.
Untuk membuat aplikasi di Firefox OS, lanjut Benny, developer tidak perlu lagi belajar bahasa pemrograman baru. Cukup menyesuaikan pengalaman selama membuat aplikasi web dengan HTML5, CSS, ataupun JavaScript.
”Saya yang bukan seorang pengembang dapat membuat aplikasi seperti PocketKumi, apalagi mereka yang memang berprofesi sebagai developer,” ujarnya.
Ketika nanti ekosistem sudah terbentuk dan pengguna Firefox OS sudah sangat banyak, maka bukan tidak mungkin jika web-based device akan mulai mengancam sistem operasi seperti iOS dan Android.
Mengapa? Karena sebenarnya Mozilla tidak sendirian. Firefox OS ini akan jadi trigger atau pemicu menyebarnya platform OS berbasis web lainnya. Mulai dari Tizen yang digagas Samsung dan Intel, Sailfish dari Jolla, serta Ubuntu milik Canonical (direncanakan pada 2014).
Alih-alih bersaing satu sama lain, munculnya OS-OS baru ini justru akan mendorong popularitas sistem Open Web pada perangkat bergerak.
Kapan hal itu terjadi? Venture Capitalist Navin Chaddha dari Mayfield Fund memprediksi platform open web mobile baru mulai populer pada 2-3 tahun kedepan. Saat ini platform tersebut masih sangat muda.
Tapi yang pasti, Brendan Eich melihat Firefox OS sebagai bagian dari masa depan. Setidaknya 10 tahun dari sekarang Eich berharap melihat open web mobile sebagai platform yang menjadi jantung dari semua sistem operasi, yang benar-benar jadi ancaman bagi sistem operasi lainnya.
Tentang Firefox OS
– Tidak secara langsung berkompetisi dengan Android atau iOS.
– Inti dari Firefox OS adalah HTML. Inilah sistem operasi yang ”ditulis” menggunakan teknologi web.
– Ekosistem Firefox OS dirancang terbuka. Bahkan lebih terbuka dari Android.
– Developer lebih mudah dan murah mengembangkan aplikasi di Firefox. Tidak banyak tools atau harus mengikuti program development tertentu.
– Aplikasi Twitter dan Facebook sudah pre-loaded di ponsel Firefox. Kontak Facebook pengguna juga secara otomatis tersinkron di daftar kontak.
– Spesifikasi handset dengan OS Firefox tergolong entry level. Sederhana dan tidak mewah.
– Setelah smartphone, Mozilla berancang-ancang membawa OS Firefox ke perangkat tablet.
– Firefox OS dianggap sebagai disruptive karena sifatnya yang sangat terbuka. Developer bahkan dapat langsung menunggah sebuah aplikasi ke web, tidak ke toko aplikasi milik Firefox.
– Sayangnya, Firefox OS yang dikembangkan selama dua tahun itu masih menyisakan pertanyaan terkait keamanan. Terutama dalam menghadapi ancaman malware.
Smartphone Berbasis Firefox OS
Inilah smartphone pertama berbasis Firefox OS yang resmi dipasarkan. Menggunakan layar TFT capacitive touchscreen 3.5 inci dengan resolusi 320 x 480 pixels, 165 ppi. Prosesornya memakai Qualcomm MSM7225A Snapdragon 1 GHz, RAM 256 MB, GPU Andreno 200, dengan memori internal 512 MB, serta dukungan microSD hingga 32 GB. Selebihnya ada kamera 3.15 MP, GPS, dan FM radio. Harganya dibanderol Rp900 ribuan
Alcatel One Touch Fire
Mulai tersedia bukan ini di negara-negara tertentu. Desainnya kurang lebih hampir sama dengan ZTE Open. Layarnya 3,5 inci, 320 x 480 piksel, dengan kepadatan 165 piksel per inci. Prosesornya menggunakan 1.0 GHz Qualcomm MSM7227A, grafis GPU Adreno 200, RAM 256 MB, serta memori internal 160 MB (mendukung hingga 32 GB). Selebihnya, ponsel ini menggunakan kamera 3.15 MP, FM Radio, dan berat 108 gram.