walkingdead“We have to moving foward!” Kata aktor utama–di film manapun–yang sedang berada dalam situasi kritis. Ditengah-tengah wabah zombie, diantara serbuan mahluk luar angkasa, hingga terdampar disebuah gurun tak berpenghuni. Para pemeran utama selalu berusaha untuk bergerak. Terkadang saya suka sebal sendiri, sudah tahu banyak zombie berkeliaran, mengapa tidak diam saja dan bersembunyi.

Tentu saja yang mereka kejar cuma satu: harapan untuk meraih sesuatu yang lebih baik dari kondisi yang sekarang.

Walaupun de facto tidak ada kepastian soal apa yang akan menanti mereka di luar sana. Walaupun bukan berarti bergerak itu jauh lebih aman daripada diam bersembunyi dari kejaran alien.

Namun, garis merah yang saya dapat adalah “melakukan sesuatu” lebih baik dibanding diam dan menunggu, dan tidak melakukam apa-apa.

Hal itu benar-benar saya alami sendiri. Beberapa waktu lalu, saya harus mengejar pesawat ke bandara dengan penerbangan pukul 20.40 WIB. Apesnya, malam itu juga ada acara yang dirayakan di kawasan Monas dan sekitarnya. Alhasil arus menuju Jakarta Pusat pun jadi bottleneck, macet semacet macetnya. Padahal bis bandara yang akan saya naiki ada di stasiun Gambir.

Setelah membayar ojek Rp20 ribu dari stasiun Gondangdia (saking macetnya!), akhirnya saya sudah duduk santai di atas bis di stasiun Gambir. Waktu menunjukkan pukul 19.08 WIB. Masih cukup waktu seandainya bis sudah bisa meninggalkan stasiun Gambir saat itu juga. Malangnya, bis yang saya tumpangi tidak bergerak hanya untuk menunggu antrean keluar dari stasiun. Asem. Saya bisa duduk pasrah sambil menunggu atau turun dari bis dan mencari moda transportasi lain menuju bandara.

Maka saya putuskan untuk turun dari bis. Meski, dalam kondisi jalanan yang sangat macet itu kecil kemungkinan saya bisa cepat mendapat taksi. Namun, menunggu bis keluar dari gambir dan menyebrang ke Masjid Istiqlal saja saya perkirakan bisa memakan waktu 30 menit sendiri. Adalah bodoh jika saya tetap di atas bis.

Akhirnya saya berjalan dari gambir ke arah Masjid Istiqlal, berupaya untuk menjauhi kemacetan. Diluar dugaan, tepat di tikungan ada taksi kosong. Dan sejurus kemudian taksi melesat menuju Cengkareng melalui tol Tanjung Priok. Saya sampai di Cengkareng tepat waktu. Seandainya saja tadi saya diam menunggu bis, sudah dipastikan saya akan telat.

Pengalaman sebaliknya saya rasakan ketika akan kembali ke Jakarta. Pagi itu, pesawat saya delay hingga 2 jam! Fiki, seorang jurnalis dari salah satu media cetak di Jakarta yang baru saja saya kenal, tampak panik. Pagi itu ia harus sudah berada di kantor. “Gue ngga boleh telat sob!” katanya.

Sejumlah penumpang, termasuk beberapa warga ekspatriat, mengerumuni seorang staf maskapai. Tentu mereka marah dan protes. Alasan memilih pesawat pagi karena siangnya mereka ada meeting atau agenda lain yang mungkin tidak bisa ditinggalkan.

Tak lama kemudian, 5-6 orang yang bergerombol tadi berbarengan meninggalkan ruang tunggu keberangkatan.

“Ikut yuk sob!” Teriak Fiki. Matanya berbinar binar. Adrenalinnya terpompa. Mungkin ia melihat adanya harapan. Harapan bahwa situasi bisa berubah.

“Ngapain?”

“Ya ngga papa, ikut aja, yuk!”

“Engga ah, lo aja, gue tunggu disini,” jawab saya santai.

Hati kecil saya waktu itu menyuruh saya ikut. Tapi entah kenapa saya memilih untuk tetap menunggu.

“Ya udah gue titip tas yah,” ujar Fiki melirik dua buah backpack berisi kamera dan baju yang tampak berat itu.

“Oke”.

Setelah Fiki pergi, yang terlihat di depan saya selanjutnya adalah drama. Para penumpang yang marah marah dan staf maskapai lain yang berusaha memberi penjelasan dan tidak bisa melakukan apa-apa.

Harusnya saya tadi ikut. Tapi, saya tidak punya nomer Fiki wong baru kenal juga pas berangkat dari hotel kesini. Kalau mau nyusul, nyusul kemana? Membawa 2 backpack, termasuk milik saya, membuat saya tidak mobile.

Saya mencoba membuka laptop untuk bekerja, eh baterainya habis! Benar benar mati gaya.

Sejam kemudian Fiki kembali dengan tergopoh gopoh. Diam diam dia menunjukkan tiketnya ke saya. Terlihat jam 8.20 dicoret menjadi 9.20, “gue dapet penerbangan berikutnya. Masih ada space kosong dan gue bisa nyusul karena tidak ada bagasi”.

Penerbangan Fiki itu satu jam lebih awal dari pesawat saya yang sekitar 10.30.

“Wah, trus gue ngga bisa disusulin sob?”

“Tadi gue ngga bawa tiket lo. Dan gue mau balik tapi rawan banget kalau ditinggal. Sori ya sob, gue bener2 ngga bisa telat,” katanya.

Dalam hati saya memang sedikit sebal dengan bagaimana ia meninggalkan syaa sendiri. Tapi, saya lebih sebal dengan diri saya sendiri karena tidak mau berusaha. I deserve it.

Yang pasti sejam menunggu kemudian adalah momen yang sangat menyebalkan. Menyadari bahwa Fiki sudah sampai di Jakarta dan saya baru saja berangkat.

Intinya apa yang saya tangkap di berbagai film terkait “we have to keep moving” itu adalah supaya kita tidak berhenti berusaha. Memang tidak ada jaminan jika kita bergerak hasilnya akan sesuai harapan.

Tapi, dengan bergerak kita memperbesar kemungkinan bagaimana alam semesta ikut bergerak (ingat the secret?). Dan seandainya pun hasilnya tidak sesuai harapan (misalnya si fiki tetap tidak bisa mendapat tiket pesawat berikutnya), yang pasti dia merasa tenang karena paling tidak dia sudah melakukan sesuatu yang dia bisa.