Seorang pelajar menggunakan tablet untuk mengakses buku pelajaran digital melalui aplikasi Pesona Edu.
Seorang pelajar menggunakan tablet untuk mengakses buku pelajaran digital melalui aplikasi Pesona Edu.
Tingginya popularitas smartphone dan tablet di dunia (termasuk Indonesia) dalam beberapa tahun terakhir melahirkan sebuah generasi yang sangat native terhadap teknologi. Apa dampaknya?

Amelia R sedang risau. Sebuah artikel yang ia baca di sebuah mailing list (milis) menunjukkan bagaimana media televisi, DVD, serta gadget seperti iPad yang dikonsumsi oleh anak dibawah 3 tahun dapat meningkatkan risiko perilaku Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD).

ADHD adalah ketidakmampuan anak dalam memusatkan perhatiannya pada sesuatu, susah fokus, dan biasanya disertai gejala hiperaktif atau impulsif.

Putra Amalia yang berusia 2,5 tahun memang tidak menunjukkan tanda-tanda ADHD atau perilaku negatif lainnya. Namun, ia tetap khawatir. ”Sebab anak saya sudah mengenal tablet sejak berusia 10 bulanan. Sekarang dia sudah sangat piawai menggunakan perangkat tersebut. Mulai menyentuh atau menyapukan jarinya ke layar untuk menavigasikan menu,” katanya.

Sosiolog Imam B. Prasodjo pernah menyebut bagaimana masyarakat Indonesia saat ini berubah menjadi masyarakat cyber yang ingin selalu terhubung (always on society). Maraknya perangkat portabel seperti smartphone dan tablet, menjamurnya jejaring sosial, serta akses internet yang semakin terjangkau memunculkan apa yang ia sebut sebagai generasi berjejaring dan multitasking.

”Generasi berjejaring ini mengetahui banyak hal, tapi hanya kulit-kulitnya saja,” ujar Imam. Sedangkan generasi multitasking, menurut Imam, sulit mengerjakan satu hal secara fokus dan baik. ”Karena mereka terbiasa mengerjakan beberapa hal sekaligus,” tambahnya.

Picu Kekhawatiran

Kekhawatiran untuk mengenalkan teknologi kepada anak tidak hanya dirasakan oleh orang tua di Indonesia. Tapi juga di luar seluruh dunia. Belum lama ini Northwestern University School of Communication di Amerika melakukan survey terhadap 2.300 orang tua yang memiliki anak berusia maksimal 8 tahun.

Hasilnya, sebanyak 37 persen orang tua mengaku sering menggunakan tablet atau smartphone untuk ”menghibur” anak-anak mereka. Namun, sebanyak 54 persen diantaranya ternyata mengaku khawatir tablet atau smartphone dapat berdampak negatif terhadap sang buah hati.

Lembaga seperti American Academy of Pediatrics (AAP) memang menyarankan agar anak-anak dibawah usia 2 tahun sama sekali tidak bersentuhan dengan televisi (layar pasif). Di usia yang masih sangat belia itu, anak dinilai belum mampu mencerna informasi dan mendapatkan nilai edukatif dari tayangan televisi (edukasi) sekalipun.

AAP lebih mendorong agar orang tua menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain dan berbicara dengan anak-anak mereka. ”Usia 2 tahun kebawah adalah momen ketika anak-anak belajar bahasa dan mengenal ekspresi wajah, bukan berselancar internet lewat iPad,” ujar Gary Small, pengajar di David Geffen School of Medicine, UCLA.

Memang saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan dampak langsung perangkat seperti tablet atau smartphone terhadap anak atau toddler karena teknologi tersebut relatif baru.

Benarkah smartphone dan tablet hanya akan membawa dampak negatif? Penelitian lain yang dilakukan Millennium Cohort Study pada Maret 2013 silam, mengungkap bahwa media interaktif ternyata justru membuat anak dapat belajar secara efisien dan cepat. Dengan catatan, orang tua tidak menjadikan tablet atau smartphone sebagai ”electronic babysitter”.

”Terkadang orang tua hanya memfasilitasi anak dalam mengakses IT. Tapi, tidak serta merta melakukan pendampingan,” ungkap Ketua Yayasan Gugah Nurani Indonesia Bagus Yaugo Wicaksono dalam Workshop on IT Child Education yang berlangsung di ICS 2013, Jumat (14/6) silam.

Orang tua, menurut Bagus, harus melakukan tindakan kontrol dan pendampingan saat anak mengakses teknologi. Mulai durasi, cara menggunakannya, serta kontennya. Terutama bagaimana melindungi agar anak tidak tersesat ke informasi yang belum layak dikonsumsi hingga pornografi. ”Posisi orang tua sangatlah vital, dan mereka harus berperan aktif,” bebernya.

Hal itu pula yang dilakukan oleh Debora Sulistya, ibu 4 orang anak yang semuanya akrab dengan teknologi. ”Anak-anak saya ’anak gadget’ semua. Tapi, mereka tahu bahwa perangkat seperti tablet hanyalah alat untuk hiburan,” katanya. “Jika disuruh memilih bermain cat bersama bunda atau bermain gadget, mereka pasti pilih yang pertama,” ceritanya.

Kuncinya, menurut Debora, selain tidak menjadikan tablet sebagai electronic babysitter, orang tua juga harus mengambil posisi sentral dalam kehidupan anak. ”Pemilihan sajian dan pendampingan berperan penting. Mau menonton Barney dan Dora, walau edukatif, tetap harus di dampingi. Karena ada hal-hal yang tidak masuk akal yang mereka mesti tahu,” paparnya.

Yang lebih penting lagi, lanjut Debora, adalah tidak menjadi orang tua yang ”parno” terhadap teknologi. ”Jangan menghambing hitamkan teknologi untuk ketidakdewasaan individu,” ungkapnya.

Tablet ataupun smartphone, pada akhirnya memang hanya menjadi alat. Yang dampaknya tergantung dari individu yang memanfaatkan.

Karena pemanfaatan tablet sebagai alat untuk menunjang proses pembelajaran sendiri sudah terjadi dan dilakukan tidak hanya di sekolah-sekolah di Amerika maupun Australia, tapi juga sekolah di Indonesia. Apple misalnya, melaporkan telah menjual 4,5 juta iPad untuk institusi pendidikan di Amerika dan total 8 juta unit iPad untuk institusi pendidikan di seluruh dunia .

Di Indonesia, cukup banyak perusahaan yang menyediakan konten pendidikan untuk tablet. Salah satunya PT Pesona Edukasi (PesonaEdu), lewat produk The 4th Generation Digital Textbook mereka.

Digital textbook memiliki konten interaktif yang menyatu dalam buku seperti ilustrasi, animasi, hingga video. Siswa juga tidak pasif karena mereka dapat memberikan catatan, menggaris warnai (highlight), serta melakukan aktivitas pencarian.

Menurut Founder dan Marketing Director PesonaEdu Hary S Candra, Buku Teks Digital interaktif yang dikombinasikan dengan tablet ini dinilainya akan membawa angin segar terhadap proses belajar mengajar. ”Tablet dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dengan cara yang sama menariknya dengan bermain game,” ujarnya.

Hary juga mengatakan bahwa guru dan orang tua perlu mempertimbangkan media tablet dan buku digital sebagai pendamping buku pelajaran cetak. ”Selain lebih murah dibanding buku cetak, buku digital lebih menarik dan memiliki unsur interaktif,” ujarnya.