Dira Sugandi di Java Jazz 2012.  Jakarta International Djarum Super Mild Java Jazz Festival tak hanya jadi lokomotif terhadap perkembangan festival Jazz di berbagai daerah di Indonesia, tapi juga menjadi ”benchmark” bagi keberhasilan industri musik khususnya Jazz di Indonesia di mata dunia internasional.
Dira Sugandi di Java Jazz 2012. JJF tak hanya jadi lokomotif terhadap perkembangan festival Jazz di Indonesia, tapi juga menjadi ”benchmark” bagi keberhasilan industri musik Jazz di mata dunia internasional.

Bisa jadi jazz bukanlah musik untuk semua orang. Namun, penyebaran musik jazz di Indonesia beberapa tahun terakhir ini tak ubahnya penyebaran wabah ”zombie” yang biasa digambarkan di film-film box office Hollywood: masif! 

Seandainya jazz diibaratkan sebagai virus, maka virus itu telah mencapai tahap pandemik: ”menginfeksi” begitu banyak orang di wilayah yang begitu luas.

Menariknya, virus jazz ini hanya terjadi di Indonesia. Tepatnya pada 2005 melalui sebuah event bernama Djarum Super Mild Java Jazz Festival (JJF).

JJF memang bukan festival jazz murni. Pihak penyelenggara Java Festival Production (JFP) menggunakan formulasi 80:20. 80 persen band/artis yang tampil memiliki akar musik jazz. Namun, 20 persen sisanya berasal dari aliran musik lain seperti pop, R&B, bahkan rock.

Music Director JFP Eki Puradiredja mengakui bahwa porsi penonton JJF yang tidak benar-benar mengerti musik jazz sangat besar. Mereka hanya datang demi hiburan atau menonton aksi laiknya John Legend (2010) ataupun Santana (2011) yang sebenarnya tidak membawakan jazz.

Namun, yang terjadi selanjutnya adalah ini: mereka yang benar-benar menikmati jazz dan penonton yang awam melebar dan melebur jadi satu. Hasilnya, musik jazz seperti terlahir kembali sebagai idiom gaya hidup. Terutama bagi generasi muda.

“Generasi muda umumnya lebih terbuka terhadap genre musik baru,” ujar musisi jazz Barry Likumahuwa dalam diskusi Djarum Super Mild Jazz Dialog di Jakarta, Jumat (15/2) silam. ”Mereka menganggap jazz sebagai musik yang hip dan cool,” tambahnya.

Buktinya, dari tahun ke tahun minat penonton JJF terus bertambah. Tidak pula surut ketika penampil utama JJF tahun lalu lebih banyak datang dari musikus jazz kawakan seperti Al Jarreau, Erykah Badu, Pat Metheny, ataupun Herbie Hancock.

Selama tiga hari penyelenggaraannya, pengunjung total JJF mencapai 110 ribu orang atau perharinya sekitar 40 ribuan orang.

Antusias

Dari Jakarta, virus jazz menyebar berlahan tapi pasti ke seluruh Indonesia. Di sejumlah daerah virus itu bermutasi, memberikan kekhas-an dalam bentuk festival jazz yang digelar.

NgayogJazz adalah festival jazz Kota Gudeg yang kerap berpindah-pindah tempat dan menyapa penonton di area publik yang tidak lazim. Tahun lalu, NgayogJazz dihelat di Desa Wisata Brayut di kawasan Pendowoharjo, kabupaten Sleman.

Ketika musik jazz di mainkan di dalam kampung, maka runtuh pula dinding pelabelan yang menyebut jazz hanya musik dengan pendengar minoritas atau berasal dari segmen tertentu. Jazz di Indonesia sudah menjadi musik yang dapat dinikmati oleh semua kalangan dan lapisan.

”Tidak ada yang pernah menyangka jazz bisa sebesar ini di Indonesia,” ujar Gilang Ramadhan, 49. ”Musisi jazz luar negeri yang datang kesini terperangah melihat musik jazz dimainkan dan ditonton di dalam kampung,” ia menambahkan.

Semarang dan Surabaya tak kalah seru dalam menggelar festival musik jazz. JazzTraffic, namanya. JazzTraffic Semarang pada November 2012 meraup 2.000-an penonton, dihadiri Pelaksana tugas (Plt) Walikota Semarang Hendrar Prihadi. Hendrar bahkan ikut bernyanyi di atas panggung, melebur dalam suasana musikal.

Sebagai musik, keunikan jazz adalah sifatnya yang cair, yang memudahkannya melebur ke dalam berbagai tempat dan kondisi. Mahakam Jazz Fiesta Samarinda merupakan festival jazz pertama di Kalimantan yang dihelat di tepian sungai Mahakam.

Sementara Jazz Gunung yang mengambil tempat di Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, digelar di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Mungkin inilah salah satu festival jazz tertinggi di dunia.

Festival musik jazz juga tumbuh di kota seperti Ambon, Banyuwangi, Solo, Bandung, hingga Batam.

Menurut Gilang Ramadhan, sebanyak 41 festival jazz telah digelar selama 2012 silam di seluruh Indonesia, meningkat 68% dibanding 2011 yang hanya 28 festival.

Gilang juga memperkirakan tahun ini festival jazz di seluruh Indonesia bisa mencapai 50 event, bahkan tembus ke angka ratusan festival dalam 3-5 tahun mendatang.

Barry Likumahuwa menyebut bahwa sejak 2007 jazz di Indonesia telah mencapai masa keemasan (golden age). “Kemungkinan besar tren (jazz) ini belum akan berhenti,” prediksinya.

Virus jazz, menurut Barry, masih akan terus menyebar. ”Jazz akan selalu menjadi musik yang segmented, tapi jazz di Indonesia bukanlah musik minoritas,” ungkapnya.

Tahun Klimaks

Tahun ini Djarum Super Mild Java Jazz Festival telah memasuki tahun kesembilan. JJF 2013 yang akan dihelat di JIExpo Kemayoran, Jakarta, pada 1-3 Maret 2013 mendatang melibatkan sejumlah penampil populer. Ada Joss Stone, Lisa Stansfield, dan Basia sebagai penampilan spesial, serta puluhan musikus lainnya.

Sementara itu, di luar nama musikus lokal yang disebutkan tadi, ada ratusan musikus atau band lain yang akan naik panggung. Mereka antara lain Indro Hardjodikoro The Fingers, The Groove, Indra Lesmana, dan Barry Likumahuwa.

Senior Brand Manajer Djarum Super Mild Handoyo mengatakan, Djarum Super Mild Java Jazz Festival 2013 merupakan kelanjutan komitmen Djarum Super Mild yang mendukung perkembangan musik di Indonesia, khususnya jazz, dengan menjadi tuan rumah di negeri sendiri atas suatu pentas musik atau budaya berskala dunia.

Handoyo berharap bahwa pemerintah, khususnya Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf), dapat memberi lebih banyak dukungan terhadap industri kreatif. “Industri potensinya sangat besar, karena masyarakat indonesia sendiri sangat kreatif,” katanya.