
Tidak sehebat laptop, tidak pula sekeren tablet. Kini, posisi netbook berada di batas masih ”relevan” dengan menjadi “kenangan”. Ketika daya jual portabilitas dan keterjangkauan harga tergeser oleh banyaknya perangkat yang menawarkan fitur serupa (bahkan lebih baik) di pasar, bagaimana masa depan netbook?
Kurniawan D masih ingat benar dengan netbook Axioo Pico DJH-616 miliknya yang ia beli dengan harga Rp2,8 juta pada 2010. ”Dengan bujet segitu saya yang saat itu masih mahasiswa bangga sekali karena sudah punya ’laptop’, bisa menjalankan fungsi komputasi ringan, bisa digunakan dimana-mana, dan bisa bergaya!,” ujar karyawan BUMN tersebut sambil tertawa.
Para analis menilai netbook hadir pada saat yang tepat, sehingga pernah berdampak begitu besarnya pada industri PC.
Di medio 2007-2008 ketika laptop sudah sangat populer, konsumen membutuhkan sebuah perangkat yang ringan, mudah dibawa-bawa, serta terjangkau harganya. Netbook menjawab kebutuhan itu melalui laptop berlayar 7 inci dan berat 1-1,5 kilogram, serta harga dibawah Rp4 jutaan.
Di negara maju netbook diminati oleh konsumen yang membutuhkan komputer kedua untuk melakukan kegiatan komputasi ringan seperti mengetik dan berselancar internet.
Di negara seperti Indonesia netbook memiliki pangsa pasar lebih luas lagi. Mulai anak-anak, blogger, mahasiswa, pekerja, serta mereka yang memiliki bujet terbatas. Tak sedikit yang menjadikan netbook sebagai komputer utama dan pertama.
Daya tarik netbook di Indonesia langsung terasa ketika Eee PC keluaran Asus diluncurkan pada 2008. Netbook tersebut mendapat sambutan luar biasa. Ratusan orang rela mengantre demi mendapatkan laptop yang saat itu memiliki banderol harga Rp3,6 jutaan tersebut.
Sayangnya teknologi melesat jauh lebih cepat dari yang dibayangkan. Lima tahun setelah diluncurkan, netbook mulai kadaluarsa. Tidak relevan lagi dengan kebutuhan konsumen yang semakin beragam.
Keterbatasan fitur pada netbook, misalnya, membuat konsumen jenuh. Sedangkan selisih harga notebook low-end yang berlayar lebih besar dan fitur lebih baik semakin lama semakin tipis dengan harga netbook.
Dari segi fungsi, kepraktisan dan portabilitas, netbook tergantikan dengan tablet yang mulai populer sejak Apple mengenalkan iPad pada 2010.
Dani Faisal, 18, adalah konsumen yang beralih dari netbook ke tablet. Menggunakan tablet Android Samsung Galaxy Tab 7.0, Dani merasa lebih nyaman dalam berselancar internet atau mengakses jejaring sosial seperti Twitter atau Facebook.
Begitu pula saat melakukan kegiatan nge-game atau mengakses multimedia seperti mendengarkan musik dan menonton video. Daya tahan baterai tablet (di dukung portable charger/power bank) juga lebih awet.
Untuk mengerjakan tugas sekolah, Dani menggunakan aplikasi Documents To Go dan layanan penyimpanan cloud Google Drive. ”Saya sudah semakin terbiasa dengan layar sentuh,” ujarnya.
Hal-hal yang biasa ia lakukan di netbook, lanjut Dani, dapat dilakukan di tablet. Apalagi, lanjut Dani, tablet hadir dengan pilihan harga beragam dan sangat terjangkau.
”Jika butuh fungsi lebih, saya lebih memilih menggunakan notebook atau Desktop PC,” ujarnya. ”Lagi pula, membawa tablet sekarang jauh lebih terlihat keren dibandingkan membawa netbook,” tambahnya sambil tertawa.
Senior Market Analyst IDC Asia Pasific Andi Handoko mengatakan bahwa pangsa pasar netbook di Asia terus menurun. Meski, di negara seperti Indonesia dan Filipina netbook masih tetap relevan bagi first time buyer atau mereka yang pertama kalinya membeli laptop.
Menurut Andi penurunan pasar netbook dipicu oleh banyak hal. Selain semakin banyaknya pilihan gadget di pasar yang menawarkan fungsi dan harga kompetitif, juga semakin sedikitnya vendor PC yang memasarkan netbook di pasar.
Dell, misalnya, menyatakan berhenti memproduksi netbook sejak Desember 2011 silam. Diikuti pula dengan Sony, Toshiba, Samsung, serta Hewlett-Packard (HP). Awal Januari 2013 silam Acer dikabarkan tidak lagi melanjutkan produksi lini netbook Acer Aspire One. Begitu juga dengan Asus yang mengakhiri lini Eee PC mereka.
Lenovo adalah salah dari sedikit vendor yang masih akan tetap memasarkan netbook di Indonesia tahun ini.
Menurut Presiden Direktur Lenovo Indonesia Sandy Lumy, permintaan terhadap netbook di daerah masih tinggi kendati tak sebesar dua atau tiga tahun lalu. “Netbook masih diminati oleh pelajar dan mereka yang pertama kali membeli laptop,” beber Sandy.
Menurut Sandy, kontribusi penjualan netbook Lenovo kurang dari 10 persen dari total penjualan produk PC mereka. Yang tertinggi, 70%, masih disumbang oleh notebook.
Ketika tahun ini Lenovo berfokus untuk memasarkan rangkaian produk seperti notebook, ultrabook, Desktop PC, dan All in One PC (AIO) mereka dengan sistem operasi Windows 8, maka netbook menjadi anak tiri.
Netbook hanya dibundling dengan OS Windows 7 karena tidak platformnya tidak mendukung Windows 8.
Resolusi layar netbook yang hanya 1.024 x 600 piksel membuat netbook tidak bisa menjalankan aplikasi yang dirancang untuk Windows 8. Sebab, resolusi layar minimun Windows 8 adalah 1.024 x 768 piksel.
Tidak heran jika kemudian para vendor mulai meninggalkan netbook untuk beralih ke perangkat lain. Menurut Handoko, para vendor akan lebih berfokus pada notebook ataupun perangkat dengan form factor lain seperti ultrabook dan ultraportable PC yang ditenagai Windows 8. Perangkat tersebut secara berlahan akan mendorong peralihan konsumen dari netbook.