Perang sistem operasi pada perangkat bergerak tahun ini bakal memanas lagi lewat kehadiran beberapa pemain baru. Sebagian dinilai hanya mengambil porsi pasar kecil. Tapi, ada juga yang memberikan ancaman berarti. Bagaimana peta persaingannya?
Persaingan sistem operasi smartphone saat ini tak ubahnya sebuah medan perang yang keji. Mereka yang tidak memiliki kemampuan bertahan (survival) tinggi tidak butuh waktu lama untuk tumbang. Sebut saja Meego milik Nokia, Windows Phone 7 keluaran Microsoft, hingga WebOS, sistem operasi berbasis Linux milik HP (Hewlett-Packard) yang ditutup bahkan sebelum sampai ke tangan konsumen.
Dua kombatan utama di perang sistem operasi: Android milik Google dan iOS milik Apple menguasai hampir 92 persen pasar smartphone di dunia. Sedangkan 8 persen sisanya diperebutkan oleh BlackBerry milik RIM dan Windows Phone kepunyaan Microsoft.
Melihat sesaknya pasar yang ada, tak heran jika banyak yang memandang pesimistis ketika ada pemain baru yang berusaha menyeruak masuk. Masih adakah ruang yang tersisa untuk mereka?
Jussi Hurmola dari Jolla Mobile punya jawabannya. ”Pasar smartphone selalu menjadi ajang pertarungan dominan antara dua kuda pacu. Tapi, kalau dicermati, kudanya selalu berganti. Lihat RIM dan Palm,” ujarnya. ”Evolusi teknologi berlangsung sangat cepat. Pasar berubah dengan cepat, bahkan kategori produk pun datang dan pergi,” ia menambahkan.
Hurmola adalah mantan petinggi Nokia yang bertanggung jawab pada MeeGo, sistem operasi milik Nokia. Ketika Nokia akhirnya menutup MeeGo, tim yang terlibat di dalamnya keluar dan mendirikan perusahaan sendiri: Jolla Mobile. Mereka berambisi untuk membawa MeeGo ke pasar mainstream. Dalam waktu dekat hal itu akan terjadi lewat sistem operasi dengan nama Sailfish.
Dan Hurmola tidak sendiri, karena Canonical Ltd, perusahaan yang membuat sistem operasi Ubuntu yang berbasis Linux juga memiliki pemikiran serupa melalui Ubuntu for Phones. Begitu juga dengan Mozilla melalui Firefox OS.
Yang menarik, baik Sailfish, Ubuntu for Phone, maupun Firefox OS memiliki kemiripan ini: sama-sama open source, menjanjikan para pengembang aplikasi lebih bebas dalam berekspresi.
Dan yang pasti, para pemain baru ini tidak berupaya untuk masuk ke pasar yang sudah tersaturasi seperti Amerika ataupun Eropa Barat. Lewat OS Sailfish, Jolla memilih untuk masuk kali pertama ke China, yang memiliki pertumbuhan pengguna smartphone sangat tinggi. Strategi mereka adalah menjalin kerjasama dengan manufaktur atau operator.
Hal serupa dilakukan juga dengan Mozilla, yang memilih mengenalkan OS Firefox di Brasil melalui kerjasama dengan operator asal Spanyol Telefonica. Mozilla menilai bahwa mereka memiliki kesempatan lebih besar di negara berkembang, memanfaatkan tren konsumen yang baru pertama kali berkenalan dengan smartphone.
Tidak hanya Brazil, Indonesia, juga salah satunya. Senin (21/1) silam, Mozilla sudah mengenalkan OS mereka kehadapan para pengembang aplikasi lokal melalui even Firefox OS App Days. Tujuannya mengajak para developer untuk membuat aplikasi di Firefox Marketplace. Respon yang mereka dapat pun cukup positif.
Yang pasti baik Sailfish, Jolla, ataupun Ubuntu for Phone berupaya untuk mengedepankan kembali terminologi open source. Open source memang menjadi gimmick Google terhadap OS Android. Meski demikian, banyak yang menilai Google masih memiliki kontrol yang sangat besar terhadap platform tersebut.
Open source yang diusung oleh para pemain baru ini memberikan kebebasan lebih kepada para developer. ”Ekosistem yang diberikan Mozilla lebih bebas,” ujar Viking Karwur, Ketua Panitia Firefox OS App Days dan Mozilla Indonesia Community Manager. Contohnya: pengguna bisa mendistribusikan aplikasi lewat Firefox Marketplace, situs pribadi, atau toko aplikasi lain yang berbasis teknologi Mozilla.
Salah satu kunci keunggulan mereka adalah aplikasi berbasis HTML5. Bayangkan aplikasi tersebut seperti sebuah website yang dijalankan oleh browser (peramban web), dan dilihat di layar smartphone. Bagi developer, membuat aplikasi di HTML5 memudahkan karena dapat diporting ke berbagai tempat (cross platform).
Sebaliknya, model aplikasi seperti ini memang dianggap kurang baik jika dibanding aplikasi native yang dirancang secara spesifik untuk iOS dan Android yang dapat berjalan lebih smooth dan memiliki lebih banyak fitur.
Meski demikian, penggunaan aplikasi HTML5 ini jugalah yang membuat harga ponsel bisa ditekan menjadi lebih terjangkau. Firefox OS ataupun Ubuntu for Phone akan hadir dalam ponsel yang relatif murah. Seberapa murah, saat ini memang belum ada angka pasti.
Handset dengan Firefox OS yang dirilis ke developer hadir dalam dua pilihan: Keon dan Peak. Keon dibekali prosesor Qualcomm S1, layar sentuh 3,5 inci, kamera 3 MP, 4 GB ROM dan RAM 512 MB. Sedangkan Peak memiliki prosesor dual-core Qualcomm S4 1.2Ghz X2, layar IPS multitouch qHD 4,3 inci, kamera belakang 8 MP dan depan 2 MP, ROM 4 GB dan RAM 512 MB. Keduanya masuk ke pasar low end dan medium.
”Ketika nanti ada semakin banyak sistem operasi, maka tuntutan untuk mengembangkan aplikasi cross platform lebih tinggi,” ujar Jefferson Wang, dari IBB Consulting. Hanya saja, menurut Wang, butuh waktu yang tidak sebentar bagi sebuah ekosistem untuk mature.