
Sejak beberapa tahun terakhir perusahaan elektronik terus berupaya menciptakan televisi dengan ukuran layar yang semakin besar. Namun, layar yang besar itu ternyata menciptakan masalah baru: kualitas gambar yang terus menurun—kecuali jarak menonton dari layar semakin jauh—.
Karena jarak ideal menonton minimal satu kali ukuran diagonal televisi, maka tak jarang TV dengan layar besar “memaksa” penonton hingga ke ujung belakang ruangan.
Tahun ini, di CES 2013, problematik itu berusaha diubah. Caranya melalui kehadiran televisi dengan definisi sangat tinggi (ultra-HD). LG Electronics Inc., Sharp Corp., Sony Corp. dan Samsung Electronics Co. siap dengan produk andalan mereka.
Dengan kerapatan 8,3 juta piksel, ultra-HD TV memiliki jumlah piksel 4 kali lebih banyak dibanding HD TV standar. Dengan tingkat resolusi itu, ketajaman gambar tidak akan berkurang walau ditonton dengan jarak yang sangat dekat dengan layar (sepertiga lebih dekat dari sebelumnya).
LG dan Sony sudah mengembangkan model UHD TV dengan ukuran layar 55 inci. Model yang terbaru, rencananya akan dibanderol dibawah Rp100 juta, membuatnya lebih terjangkau bagi para early adopter atau segmen menengah keatas yang peduli dengan teknologi TV terbaru.
Dibandingkan dengan harga flat panel TV (FPTV) yang kini sudah berada di angka Rp3 jutaan di Indonesia, memang masih butuh waktu hingga beberapa tahun lagi bagi ultra-HD TV untuk bisa dinikmati oleh segmen yang lebih besar.
Bahkan sekarang pun ultra-HD TV masih memiliki kendala. Yakni dari konten yang masih sangat terbatas. Sejak 2004 hanya sekitar 50 film yang disyut menggunakan kamera ultra-HD. Sebut saja film James Bond terbaru Skyfall dan sekuel Batman, The Dark Knight Rises.
Dan untuk bisa memutar konten tersebut ke TV sendiri sangat sulit.
Ketika merilis ultra-HD TV berukuran 84 inci November 2012 silam, Sony melengkapinya dengan sebuah server yang fungsinya hanya untuk menyimpan dan memutar film berukuran besar. Harganya pun luar biasa mahal: sepaket TV dan servernya mencapai USD25.000 (Rp300 juta di Indonesia).
Memang sudah ada rencana untuk mengupgrade player Blu-ray supaya dapat menghandle format ultra-HD. Tapi, hingga saat ini belum ada langkah pasti.
Mendapatkan siaran televisi di ultra-HD bahkan masih butuh waktu lebih lama lagi. Para vendor berusaha menyiasati melalui teknologi upscaling atau peningkatan kualitas untuk membuat gambar HD bisa lebih baik di layar ultra-HD.
Untungnya, teknologi memungkinkan kompresi film ultra-HD hanya 25-30 persen lebih besar dibanding film HD biasa. Demikian diungkapkan Pete Lude, mantan presiden Society of Motion Picture and Television Engineers.
Artinya, bukan tidak mungkin Blu-ray disc standar hanya perlu sedikit “revisi” untuk bisa memutar film ultra-HD. Sehingga konsumen tidak perlu membeli pemutar Blu-Ray baru.
Meski demikian, ultra-HD bisa jadi merupakan teknologi yang bahkan lebih dekat dari yang dibayangkan. Sebab, menurut firma riset IHS, 20 persen TV yang dikapalkan pada 2017 mendatang akan berukuran 50 inci atau lebih. Jumlahnya jauh meningkat dibandingkan 9 persen pada 2012.
Di Amerika, misalnya, survey NPD menyebut bahwa FPTV dengan ukuran 50 inci keatas meningkat hingga 46 persen dbandingkan tahun sebelumnya. Ukuran TV rata-rata yang terjual pada 2016 mendatang diperkirakan adalah 40 inci, dari 22 inci pada 1997.
Meski demikian, Consumer Electronics Association menilai bahwa tingginya harga dan ketersediaan konten yang belum sempurna akan membuat ultra-HD ini menjadi produk yang memiliki start lambat.
Hingga 2016 mendatang, ultra-HD dperkirakan terjual hanya 1.4 juta unit pada 2016 nanti di Amerika saja. Angka itu, menurut CEA, hanyalah 5 persen dari total pasar. Market share global diprediksi jauh lebih kecil.
”Kesempatan ultra-HD TV sangat sangat terbatas,” ujar Steve Koenig, direktur Consumer Electronics Association,. ”Butuh waktu bagi pasar untuk mendapatkan traksi sebalum harga ultra-HD TV turun,” ujarnya.
Analis NPD Paul Gagnon menilai bahwa ultra-HD TV akan terus menjadi teknologi yang dibicarakan dan memiliki potensi besar di masa depan. Kendati demikian, segmennya tetap akan niche dan terbatas pada pasar high end saja.