Secara berlahan perintah atau pemindai suara pada smartphone berkembang dari fitur yang ”sekadar ada” menjadi fitur inti yang ”sulit untuk ditinggalkan”. Ini karena teknologi tersebut terus menerus disempurnakan menjadi lebih baik dan semakin fungsional.
Interaksi antara manusia dan perangkat portabel terus mendapat perbaikan. Stylus pernah populer sebagai alat input perintah sejak Apple Newton (1980-an) hingga era personal digital assistant (PDA) yang menggunakan sistem operasi Microsoft Windows (1990-an). Belakangan stylus mulai ditinggalkan karena dianggap kurang praktis.
Pada November 2010 Microsoft membuat terobosan lewat Kinect. Kinect mendeteksi gerakan badan, tangan, hingga kaki pengguna konsol Xbox 360. Microsoft juga mendorong pemanfaatan Kinect ke berbagai bidang industri seperti pendidikan hingga kesehatan.
Google sendiri sedang menyiapkan Google Now, aplikasi andalan di sistem operasi Android terbaru versi 4.1 atau Jelly Bean. Aplikasi tersebut akan menyimpan semua informasi penggunanya, mulai aktivitasnya di internet, lokasi yang dikunjungi, dan lainnya, sehingga seolah-olah Google Now bisa membaca pikiran penggunanya.
Ilmuwan saat ini juga sedang bereksperimen bagaimana komputer bisa langsung membaca sinyal elektrik otak, sehingga perintah bisa dijalankan hanya dengan memikirkannya saja. Sebelum saat itu tiba, ternyata media interaksi yang teknologinya sedang disempurnakan secara intensif saat ini adalah suara.
Voice command memang sudah lama ada. Namun para vendor mulai intens untuk mengembangkan teknologi ini sejak Apple meluncurkan Siri di iPhone 4S. Melalui Siri, Apple mampu membawa teknologi pengenalan suara (voice recognition) ke titik yang belum pernah dicapai sebelumnya: memberikan jawaban atau interaksi yang sangat natural. Sehingga seolah-olah pengguna sedang berbicara dengan smartphone mereka. Karena itu Siri disebut sebagai voice assistant atau asisten pribadi penggunanya.
Apalagi sejak Apple menyempurnakan fitur Siri dengan menggamit Yelp dan Rotten Tomatoes untuk memberikan pencarian lebih spesifik dan lengkap di bidang seperti restoran, olah raga, dan film.
Para kompetitor Apple mengganggap Siri sebagai ancaman besar. Alhasil mereka merespon dengan menghadirkan berbagai teknologi voice recognition dengan keunggulan yang berbeda-beda.
Samsung yang pertama merespon dengan merilis ”S Voice” di produk flagship mereka Samsung Galaxy S3. ”S Voice” bisa mengatur agenda dan alarm, memberikan informasi cuaca, hingga menjawab pertanyaan seperti “siapa Presiden Republik Indonesia?”.
Pekan lalu giliran LG yang mengumumkan rencana mereka untuk membuat layanan voice recognition sendiri di handset Android yang mereka pasarkan. Namanya ”Quick Voice”, dan akan dibenamkan do produk terbaru mereka Optimus Vu. Quick Voice bisa mengakses 11 aplikasi seperti email, kontak, kalender, cuaca, saham, peta, hingga pencarian di YouTube. Meski belum memberi pengumuman secara resmi, vendor asal Taiwan HTC sudah berancang-ancang untuk merilis voice assistant sendiri.
Apple Vs Google
Siri, asisten suara pribadi itu fiturnya semakin canggih. Apple menyempurnakannya dengan menggandeng perusahaan-perusahaan yang terbaik di bidangnya: Yelp, Rotten Tomatoes, dan OpenTable.
Yelp adalah situs yang memberikan review (ulasan) soal bisnis lokal seperti restoran, salon, ataupun dokter gigi dengan data base yang sangat luas di Amerika. Rotten Tomatoes adalah agregator kritik film yang sangat populer. Sedangkan OpenTable memiliki layanan reservasi restoran yang sangat advance.
Dengan fitur yang semakin maju ini Apple berharap agar Siri tidak hanya menjadi fitur yang ”sekadar ada”, melainkan fitur utama dalam iPhone yang digunakan terus menerus. Sebuah aktifitas yang oleh para analis disebut sebagai “pencarian kasual”, dimana pengguna bisa secara rutin bertanya informasi kepada Siri tentang berbagai hal di sekitarnya.
Dalam jangka panjang ”pencarian kasual” ini bisa berbahaya terhadap mesin pencari tradisional seperti Google. Karena Siri tidak selalu mencari jawaban ke Google.
Sebaliknya, Siri bisa menjawab pertanyaan tentang film, restoran, olah raga, bisnis lokal, lokasi, ataupun peta dalam bentuk yang ringkas dan cepat. Berbeda dengan Google yang memberikan hasil pencarian dalam bentuk yang lebih luas/umum.
Para analis menilai ini akan menjadi tren di masa depan. Terutama bagi para pengiklan. Hasil pencarian yang sangat spesifik pada toko atau lokasi tertentu akan memudahkan dalam memasang iklan.
Ini karena kegiatan mobile search umumnya digunakan untuk mencari informasi disekitar pengguna yang sifatnya lokal. Misalnya toko-toko yang sedang menggelar diskon, restoran tertentu yang paling banyak mendapat ulasan positif, dan lainnya.
Oren Etzioni, pakar artificial intelligence di departemen computer science University of Washington menyebut bahwa pertaruhan di fitur suara ini sangat besar. ”Memang Google sangat sulit dikalahkan di Desktop/PC. Tapi perangkat bergerak seperti ponsel adalah pasar yang sangat berbeda,” katanya.
Saat ini Siri memang masih terhubung ke Google Search. Namun, para analis menilai Apple terus berusaha mengurangi peran Google dalam handset mereka. Mereka ingin mem-by pass fitur pencarian Google, yang berarti juga mem-by pass halaman iklan yang jadi sumber pendapatan Google.
Mengapa Apple melakukan hal ini? Tak lain karena besarnya nilai pasar “search advertising” di Amerika yang menurut laporan eMarketer akan tumbuh 30 persen dari USD19,5 miliar tahun ini dari USD15 miliar pada 2011. Tiga perempat pasar itu dikuasai oleh Google. Padahal menurut analis Gene Munster dari lembaga riset Piper Jaffray, 40 persen pendapatan Google di sektor mobile berasal dari handset iOS milik Apple.
Belum Sempurna
Jawaban yang diberikan oleh Siri memang bisa sangat detil dan bahkan mengejutkan. Misalnya Siri bisa memberikan jawaban berupa perbandingan data fisik dua pemain NBA yang berbeda secara singkat. Fitur yang bahkan harus dilakukan dengan beberapa langkah melalui Google Search.
Meski demikian, teknologi ini masih jauh dari sempurna. Banyak pengguna yang mengaku kecewa karena Siri salah mengartikan kata, hasil pencariannya yang aneh, ataupun data yang tidak komplit.
Namun, Apple menanamkan investasi yang sangat besar untuk mengembangkan teknologi ini. Para analis menilai tujuan besar Apple adalah membuat ”asisten pribadi yang bisa dipercaya”.
Bagaimana dengan pasar Indonesia? Sejauh mana fitur suara dapat dimanfaatkan oleh pengguna ponsel di Indonesia?
Product Marketing Senior Manager of Business Department PT Samsung Electronics Indonesia Fabian Kayatmo mengakui bahwa fitur S-Voice yang dimiliki oleh Galaxy S3 memang masih bersifat ”nice to have”. Para pemilik Galaxy S3 tertarik untuk menggunakan, namun belum masuk ke dalam fitur yang sulit ditinggalkan.
Setidaknya ada dua kendala utama. Yang pertama, karena S-Voice memang masih menggunakan bahasa Inggris. Pengguna Indonesia akan kesulitan untuk membuat perintah suaranya dikenali oleh S-Voice.
Yang kedua, adalah ketiadaan sinergi dengan konten lokal. “Jika S-Voice bisa menjawab soal bintang film Indonesia atau memberikan banyak hal lain yang sifatnya lebih lokal saya rasa penggunanya akan cepat tumbuh,” ujar Fabian.
Karena itu saat ini pihak Samsung Indonesia tidak terlalu menyentuh S-Voice sebagai fitur unggulan. ”Benefitnya terhadap pengguna Indonesa belum terlalu besar,” ungkap Fabian lagi.
Kendati demikian, pihaknya sudah mengajukan permintaan kepada headquarter untuk membuat S-Voice versi Indonesia serta integrasi dengan berbagai konten lokal. “Kemungkinan untuk itu pasti ada karena Indonesia pasar yang sangat penting bagi Samsung,” ujarnya.