Maret 2010, CEO dan Chairman Rakuten Hiroshi Mikitani membuat pengumuman besar: ia ingin seluruh karyawan Rakuten di seluruh dunia bisa berkomunikasi (lisan dan tulisan) dalam bahasa Inggris. Deadline-nya, 24 bulan atau 2 tahun.
Hasilnya, luar biasa heboh. Yang paling kelabakan justru 7.100 staf dan eksekutif Rakuten Jepang sendiri yang memang tidak terbiasa dengan bahasa Inggris.
Kehebohan ternyata tidak hanya terjadi di internal perusahaan. Namun juga media dan perusahaan Jepang lainnya. Memang sudah umum bagi perusahaan global untuk mewajibkan karyawannya fasih berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Tapi belum ada perusahaan yang mengambil langkah seradikal Rakuten: jika dalam dua tahun tidak lolos, bisa dipecat atau mendapat sangsi sangat berat.
Sebagian menyambut positif keputusan Mikitani. Namun, tidak sedikit pula yang berkomentar negatif. CEO Honda Takanobu Ito misalnya, menyindir: ”untuk apa menggunakan bahasa Inggris di perusahaan Jepang yang pasarnya adalah orang Jepang,”.
Mikitani bergeming. Ia yakin bahwa bahasa Inggris akan memudahkan komunikasi antar karyawan Rakuten di seluruh dunia. Ini dirasa sangat penting karena Rakuten terus melakukan akuisisi masif di berbagai perusahaan di seluruh dunia.
Menjawab keluhan dari staf yang merasa sudah berumur dan sulit untuk mempelajari bahasa baru, Mikitani melakukan ini: berjanji untuk belajar bahasa Mandarin yang tidak dikuasainya sama sekali dalam waktu yang sama.
”Keputusan Mikitani ini sangat serius. Ketika berada di kantor Rakuten Jepang Anda akan melihat para staf memegang buku bahasa Inggris saat makan siang. Mereka belajar bahasa dimana saja,” ujar Tsedal Neeley, assistant professor of Business Administration, Harvard Business School.
Neeley ditunjuk untuk mengawasi proyek yang disebut ”Englishnization” ini berjalan dengan baik di berbagai kantor perwakilan Rakuten di seluruh dunia.
Menurut Neeley, ternyata Indonesia menempati salah satu negara dengan peringkat terbaik dalam mengadopsi ”Englishnization”. ”Rupanya sejak sekolah orang Indonesia sudah sangat terbiasa dengan bahasa Inggris,” ujarnya. Tantangan terbesar justru datang di negara Jepang sendiri, diikuti Prancis, Taiwan, serta Laos.
Komentar serupa juga diungkapkan Ryota Inaba, Presiden Direktur dan CEO PT Rakuten MNC. “Saya termasuk beruntung karena semua staf saya sudah fasih berbahasa Inggris,” ujarnya.
Ryota yang akrab disapa Popeye ini menjelaskan bahwa langkah Mikitani terhadap ”Englishnization” ini memiliki dampak besar terhadap Rakuten. “Kami mendapat banyak profit,” katanya. Mulai saat melakukan conference meeting, mengirim staf ke Jepang, hingga surat-menyurat elektronik.
Neeley berpendapat bahwa perusahaan global dengan dua bahasa (bilingual) akan menyita banyak uang, tenaga, serta waktu. “Rakuten adalah perusahan e-commerce terbesar di Jepang. Untuk terus tumbuh, mereka harus keluar dari Jepang dan melakukan banyak akuisisi perusahaan-perusahaan baru. Ketika menjadi perusahaan global, Englishnization akan berdampak besar,” ujarnya.
Ia juga menilai bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam berkomunikasi secara tidak langsung merubah DNA sebuah perusahaan. Salah satunya mengesampingkan hieararki budaya. ”Karena bahasa Inggris sangat direct,” paparnya.
Sedangkan Ryota menambahkan bahwa bahasa Inggris juga merubah mindset staf Rakuten Indonesia. ”Karena sifatnya yang lebih direct, para staf berpikir dan bertindak berbeda. Sangat straight forward,” katanya.
Menurut Neely, perubahan bahasa dalam perusahaan umumnya dilakukan 4-5 tahun. Sedangkan Rakuten melakukannya dalam 2 tahun. Itulah mengapa keputusan Mikitani tersebut dilabeli provokatif dan radikal. “Saya tidak percaya mereka bisa melakukannya,” paparnya.
Deadline dari ”Englishnization” ini berakhir tepat pada awal Juli 2012 depan. Lalu bagaimana perkembangannya hingga saat ini?
”Mayoritas staf Rakuten di Jepang sudah menguasai bahasa Inggris dengan baik. Dua tahun terakhir ini bagi mereka sangat melelahkan, tapi hasilnya efektif,” ujar Neeley.