Trailer (cuplikan film) Despicable Me mengesankan film ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Pertama, karena tokoh utamanya adalah seorang villain (tokoh jahat) bernama Gru (disuarakan Steve Carell). Dia bersaing dengan para villain lainnya untuk menciptakan kejahatan yang menghebohkan dunia. Ketika rival Vector (Jason Segel) mencuri piramida Giza, ambisi Gru adalah: mencuri bulan.

Kedua, ada tiga tokoh gadis kecil yang sangat-sangat menggemaskan. Mereka adalah Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier), dan Agnes (Elsie Fisher). Menggabungkan karakter jahat Gru dengan ketiga gadis imut ini jelas bakal memicu konflik yang fun.

Ketiga adalah para pembantu Gru yang berbentuk mahluk-mahluk kuning bulat yang sangat kocak dan membuat gemas. Mereka berbicara saja sudah lucu. Tingkah mereka bahkan lebih konyol. Tiga poin plus ini sudah membuat penonton penasaran, hanya dengan melihat trailer Despicable Me saja.

Tapi sayang, ketika semua komponen utama film sudah sangat solid, para filmmakernya justru kurang tanggap dalam membenahi pondasi awal sebuah film animasi yang menyenangkan: cara bercerita.

Sekadar membandingkan saja, film animasi seperti Finding Nemo, The Incredibles, ataupun Ratatouille tidak akan bosan ditonton berulang-ulang, karena flow atau jalannya cerita film itu terasa nyaman. Ada momen-momen lucu, ada bagian yang hangat, ada beberapa yang seru dan membuat penonton menahan nafas, sisanya (biasanya) ditutup dengan haru. Masing-masing ada porsinya, dan dirajut dengan rapi.


Nah, cara bercerita seperti ini yang tidak dimiliki oleh Despicable Me. Penulis skenario Ken Daurio dan Cinco Paul mungkin terlalu sibuk mengeksplorasi masing-masing karakter agar telihat lucu. Tapi, mereka gagal merajut benang penghubung yang manis antar-karakter.

Dampaknya, cukup terasa. Adegan kocak ketika si bungsu Agnes membuat suara aneh dengan pipinya atau berteriak “its so fluffy, I could die” saat melihat boneka kuda berbulu memang berhasil. Begitu juga saat Gru membacakan dongeng di tempat tidur dengan manisnya kepada ketiga gadis kecil, yang mulanya ia adopsi hanya untuk merebut senjata dari rivalnya, Vector (Jason Segel) itu.

Tapi, secara utuh, cerita Despicable Me terlalu dangkal dan singkat. Adegan demi adegan terasa berjalan dengan cepat. Tidak terasa, tiba-tiba sudah mencapai pertengahan film, tiba-tiba sudah diperlihatkan adegan penghujung.

Aksi dan reaksi dari adegan juga agak dipaksakan, tidak terjalin dengan manis. Begitu pun dengan turning point yang kurang smooth. Penonton merasa tidak punya cukup alasan Gru bisa berubah dari “supervillain” menjadi superhero dalam waktu singkat.

Menonton Despicable Me seperti memakan marshmallow yang manis, kenyal, lembut, dalam bentuk, aroma, serta warna yang menggemaskan, tapi cepat sekali habis di mulut. Ketika masih kurang puas, kita tinggal membuka bungkus marshmallow baru. Tapi, saat menonton Despicable Me, tepat saat kita merasa kurang, lampu bioskop sudah menyala dan tandanya film sudah habis.