hackfar_wall_hit Pertama kali menonton kompetisi Qashqai Urban Challenge di TV kabel bikin saya garuk-garuk kepala. Ini kompetisi sepeda ekstrim, tapi bukan BMX, melainkan Mountain Bicycle (MTB). Aneh, alam hati saya berujar, sejak kapan MTB dikompetisikan di park yang penuh ramps atau dibuat freestyle seperti ini?

Oh, ternyata, saya toh yang ketinggalan zaman. Sudah sejak lama, subtypes dari MTB ini berlahan-lahan menggapai popularitasnya sendiri. Mulanya orang mungkin lebih kenal downhill mountain biking. Nah, subgenre lainnya seperti Cross-country (XC), dirt jump, freeride, serta urban/street MTB ini kian lama-kian diminati.

Downhill biking, cross-country (XC), dan dirt jump mungkin mudah dibedakan dengan BMX dari lintasan, handicap, maupun lokasinya. Tapi, mereka yang awam mungkin bakal tertipu dengan penampilan street BMX dan street/urban MTB.

Trik-trik yang dirapal kedua sepeda berbeda ukuran itu cenderung sama. MTB bikers dengan mudahnya melakukan trik seperti walltap, 180, 360, manual/rocket manual, bunny hop, hingga x-up. Juga trik-trik sulit seperti Flare, tailwhip, 540, 720, hingga backflip (biasanya hanya dilakukan di ramps, dalam sebuah kompetisi).

Meski, tidak ada grinding di MTB karena memang sepedanya tidak dilengkapi perlengkapan itu.

Dari googling sana-sini, saya juga dapat kesimpulan ini : era BMX sudah mulai digulung oleh ombak MTB. Konon cukup banyak atlet BMX yang banting stir. Yang jelas bukan Matt Hoffman dan Dave Mirra, hahaha.

Well, jika mau dibandingkan head to head, baik BMX maupun MTB punya plus dan minusnya sendiri. Tidak ada yang benar-benar unggul secara menonjol. Tapi, menurut saya, MTB cepat sekali populer selama beberapa tahun terakhir karena beberapa faktor.

Pertama, dari cabang gunre atau type-nya. BMX, lebih populer untuk atraksi street atau flatland. Untuk penggunaan dirtjump memang ada, tapi jarang. Apalagi, label BMX sendiri sudah terlanjur “hanya untuk extreme sports”.

mtbxSebaliknya, MTB, seperti yang saya sebut diatas, sangat banyak ragam fungsinya. Sepeda itu juga hadir dengan format yang lebih umum (bisa digunakan oleh semua kalangan). Masing-masing genre atau subtype, bahkan memiliki bentuk sepedanya sendiri.

MTB tipe hardtail, misalnya, hanya cocok untuk pemakaian sehari-hari dan XC. Sebaliknya, MTB yang digunakan untuk dirtjump atau downhill, umumnya menggunakan dua pegas dengan frame yang lebih ringan dan kokoh.

Oh ya, penggunaan teknologi yang dibenamkan ke MTB juga semakin luas dan canggih. Mulai bahan pembuat frame (alloy, chromoly, titanium, carbon), fasilitas rem cakram, pegas ganda, dan lainnya.

Keunggulan lain MTB adalah, mampu menempuh jarak yang jauh. Ini penting, terutama bila dikaitkan dengan munculnya wacana bersepeda ke tempat kerja (bike 2 work), yang selain sebagai alasan kesehatan juga sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan.

Dan jika beberapa tahun terakhir tren bersepeda atau MTB biking ini bergulir semakin cepat, karena memang para pabrikan juga memberi support. Di Indonesia, pemain lokal ada Wimcycle, Polygon dan United Bike. Belum lagi sepeda import seperti Giant, Kona, dan lainnya (saya belum bisa cerita banyak soal ini karena masih newbie). Yang jelas, MTB is in tha’ house. 😛

Dan saya kira, ini juga bukan sekadar tren-trenan sementara. Terutama ketika dunia terus-menerus mengkampanyekan penggunaan energi (toh mobil hybrid di industri automotif malah semakin gencar), maka menggunakan sepeda adalah salah satu alternatif untuk mengurangi polusi dan menghemat energi. Sayang sekali, kota seperti Jakarta, pemerintahnya tidak mendukung penggunaan sepeda. Selain tidak ada jalur khusus sepeda, parkir, juga polusi yang bikin bantuk. haha.

Tapi what the hell, saya terlanjur teracuni bersepeda. Ternyata mengasyikkan sekali. Nanti saya postingkan tentang sepeda saya ya, hahaha.