”Jika suatu hari nanti aku tidak pulang, jangan pernah mencariku,”.
Mira Agustina ingat betul kata-kata suaminya, Omar al-Faruq, yang diucapkan tepat dihari pernikahan mereka. Peristiwa itu datang di sore yang cerah. ”Sore itu ia (al-Faruq) berkata akan ke mesjid. Setelah itu, saya tidak mendengar apa-apa lagi tentangnya,” ungkap Mira, yang memiliki dua orang anak dari al-Faruq di rumahnya di kawasan Cijeruk, Jawa Barat. Belakangan, Mira menyadari fakta mengerikan soal suaminya itu.
Pada 5 Juni 2002, polisi menangkap al-Faruq di kawasan Terminal Baranangsiang Bogor. Tiga hari kemudian, al-Faruq dideportasi ke pangkalan udara Amerika di Bangram, Afghanistan. Disana, agen CIA sudah menunggu untuk menginterogasi pria asal Kuwait, kelahiran 24 Mei 1971 itu.
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono menulis dalam http://www.modus.or.id, bahwa kecurigaan terhadap al-Faruq berikut sepak terjangnya sudah dipantau oleh personil intelijen (agen). Agen struktural BIN, sejak dulu sudah menyusup dikalangan kaum ekstrim kiri, kaum radikal kanan dan obyek-obyek lainnya baik di dalam maupun di luar negeri. Persis seperti yang kita lihat di film-film Bourne ataupun James Bond.
”Tapi, saat itu kami tidak punya cukup bukti hukum yang kuat untuk dapat menyeret Umar Al-Faruq ke pengadilan Republik Indonesia, karena pada periode awal reformasi belum ada Undang-undang anti terror, undang-undang anti subversi atau lain-lain yang sejenis sebagai pengganti peraturan perundang-undangan yang ada di era sebelumnya,” katanya.
Al-Faruq memang bukan orang sembarangan. Menurut dokumen CIA, dia adalah orang kepercayaan Osama Bin Laden untuk menggeliatkan pergerakan al-Qaeda di Asia Tenggara.
Al-Faruq bertanggung jawab langsung pada Abu Zubaydah (kini sudah ditangkap). Dalam dalam struktural organisasi Al Qaeda, Abu Zubaydah menjabat sebagai koordinator teroris di seluruh dunia.
Di Asia, tugas al-Faruq juga tidak enteng. Abu Zubaydah dan Ibn Al-Shykh Al-Libi, komandan pelatihan Al Qaeda di Libya, menugaskannya untuk merancang serangan masif terhadap perwakilan Amerika di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Taiwan, Vietnam, dan Kamboja.
Sasaran utama, jelas, kedutaan-kedutaan besar Amerika. Ini juga yang menjelaskan mengapa pengamanan dubes AS selalu superketat.
Ia (al-Faruq), misalnya, disebut sebagai otak dibalik pengeboman di malam Natal pada 2000 yang menewaskan 18 warga Indonesia. Ia juga berkali-kali mengorganisir serangan bom bunuh diri (suicide attack), membentuk pelatihan terorisme, bahkan sempat menargetkan Presiden Megawati serta Angkatan Laut AS (U.S Navy) yang merapat di Surabaya kala itu. Kedua serangan terakhir gagal.
Kecerdasan al-Faruq, yang memiliki sembilan nama alias dan 5 buah paspor itu berjalan beriringan dengan kehausannya akan darah dan penghancuran (appetite of destruction). Pada 1990an, ia berlatih di kamp al-Qaeda di Khaldan, Afghanistan. Disitu jugalah ia menjadi dekat dengan Abu Zubaydah.
Pada 1995, Abu Zubaydah mempercayainya untuk pergi ke kemp Abubakar di Moro, Filipina, salah satu fasilitas pelatihan teroris milik Front Kemerdekaan Islam Moro. Disana, al-Faruq berencana memimpin pembajakan pesawat komersial, tapi gagal karena diterima di sekolah penerbangan.
Akhir 1990an, ia lebih banyak berada di Indonesia, mengontrol pergerakan al-Qaeda di Asia Tenggara. Tentu, ia tidak bergerak sendiri. Al-Faruq mendapat bantuan dan dana dari Jamaah Islamiyah (JI), yang anggotanya sudah tersebar di Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Setelah Suharto tumbang pada 1998, Indonesia yang diserang krisis moneter berada dalam kekacauan. Al-Faruq pun merasa Indonesia adalah lahan subur dan potensial untuk mencari bibit-bibit teroris. Sampai-sampai CIA menyebut Asia Tenggara sebagai pusat konsentrasi al-Qaeda terbesar setelah Afghanistan dan Pakistan. Artinya, kendati tidak berada di maskar besarnya di Afghanistan, Al-Qaeda terus menjalin hubungan dengan ekstrimis di seluruh dunia.
Karena itu, al-Faruq memutuskan untuk menetap di Indonesia, menikahi Mira, putri almarhum Haris Fadillah, yang berekanan dengan kelompok muslim fundamentalis Majelis Mujadihin Indonesia (MMI).
MMI dibentuk oleh Abubakar Ba’asyir, yang juga pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah.
Selain menolak disebut terlibat dalam al-Qaeda, Ba’asyir juga menentang segala bentuk jihad dengan kekerasan. Sebaliknya, JI garis keras sempat dipimpin oleh murid Ba’asyir, Hambali. Sejak 1995, Hambali dikenal dekat dengan al-Qaeda. Bahkan, ia yang mengantar para pembajak pesawat dalam tragedi WTC 11 September ke Malaysia pada 2000. Hambali juga dikabarkan pernah bertemu langsung dengan Osama Bin Laden.
Di dalam penjara, perjalanan Al-Faruq mengejar hidup sebagai teroris tak berhenti. Pada 2005, ia meloloskan diri dari penjara superketat Bahram, pusat penahanan dan interogasi CIA itu, bersama dua tokoh senior al-Qaeda lainnya. Polisi Indonesia ikut kelabakan, terus memantau kembalinya al-Faruq ke Indonesia.
Setahun kemudian, al-Faruq akhirnya tewas tertembak di Baghdad oleh tentara Inggris. Menurut berita, ia terlibat baku tembak dengan pasukan Inggris di persembunyiannya di kawasan Basra, sekitar 700 km sebelah tenggara Baghad. Tiga bulan sebelumnya, ia masuk ke Irak dengan nama samaran Mahmoud Ahmed.
Perjalanan al-Faruq sebagai seorang teroris, menyisakan misteri, bahkan bagi Mira, istrinya yang kini harus membesarkan kedua putrinya, Al-Choliah dan Al-Hanun sendiri. Kepada CIA, Mira mengaku tidak tahu asal usul suaminya. Meski, menurut majalah Time, CIA mencurigai Mira ikut berpartisipasi dengan al-Faruq dalam menyusun plot terorisme.
Satu hal yang diingat Mira, “saat kami menikah, dia (al-Faruq) membuat saya berjanji, jika suatu saat nanti ia tidak pulang, saya tidak akan mencarinya”. “Saya menjaga komitmen itu, dan tidak mencari,” kata Mira.
—
Dengan pemberitaan yang terus menyudutkan Indonesia, warga Amerika dan Australia sudah terkadung memiliki pola pikir Indonesia sebagai sarang teroris. Toh, rasanya wajar saja ketakutan berlebihan manajer Rihanna hingga harus membatalkan konsernya disini. Meski, promotor sudah mengatakan akan menjamin keselamatan Rihanna, menyiapkan keamanan sekelas presiden.
Karir Rihanna sekarang sedang berada di puncaknya. Sementara konser itu berdekatan dengan eksekusi tiga terpidana mati bom Bali. Di Australia saja, hampir semua media memasang headline tentang eksekusi itu. Bahkan, mereka menyebut akan ada bom susulan, sehingga melarang warga Australia untuk datang ke Indonesia.
Karena itu, Rihanna memilih cara aman, menunda konser hingga Januari yang dianggap gejolak kemanannya mereda.
Seorang penyanyi jazz terkenal, dalam Java Jazz tahun lalu kaget melihat kondisi Jakarta. ”Lho, ternyata disini aman-aman saja toh. Saya tidak tahu, dan akan saya ceritakan ke teman-teman saya,” katanya.
Peter Basuki, Adrie Subono, dan beberapa promotor lainnya bercerita kepada saya bagaimana sulitnya mendatangkan artis luar negeri. ”Saya bilang ke mereka, di Indonesia itu aman. Sudahlah, saya jamin kemanannya,” kata Peter.
*disarikan dari majalah Time edisi 15 September 2002, dan berbagai sumber lain.